acht

186 28 2
                                    

stσrʏ вʏ кσsmσstєrвαng






-

Malam telah tiba, aku baru saja sampai di istana dengan kereta kuda yang kunaiki tadi pagi bersama Nedvan. Jelas dengan cara manual untuk kali ini, karena Nedvan tertidur sangat pulas sehingga aku tidak tega jika mengganggu tidurnya.

"Miss akan menginap?" tanyaku pada Miss Hana yang berada di kursi depan tempat kusir.

"Tidak, Cam. Aku harus segera berada di sekolah lagi." Aku menghela napas kecewa, padahal aku ingin sekali menunjukkan sesuatu pada Miss Hana. Tapi ya sudahlah, lain kali saja.

"Baiklah Miss, Miss akan pergi ke sekolah dengan menggunakan apa?" tanyaku sebelum turun dari kereta kuda.

"Aku akan berteleportasi," jawabnya diikuti dengan senyuman khas wanita itu.

"Aku pamit, Cam. Sampai jumpa!" Miss Hana melambai sejenak, lantas menghilangkan dari hadapan kami.

"Hei! Bangun kau!" seruku pada Nedvan yang masih tidur dengan nyenyaknya.

Namun, dia tidak bangun juga. Membuat aku turun terlebih dahulu dan memanggil beberapa pelayan untuk membawa Nedvan ke kamarnya.

Setelahnya, aku segera ke kamarku karena merasa sudah sangat mengantuk.

***

"Antonia, apakah kau sudah bertemu dengan Gain?" Aku menoleh dan mendapati sosok arwah Camelia yang masih sama seperti sebelumnya, pakaian lusuh dan rambut tidak terawat.

"Aku bahkan sudah mengobrol dengannya dan kau tau? Dia bisa membaca pikiranku, huh!" jawabku dibalas kekehan oleh arwah yang setia duduk di sisi ranjangku.

"Sepertinya banyak yang berubah ya?" tanyanya lagi.

"Memangnya sebelumnya Gain bagaimana? Tidak bisa membaca pikiran?" Alisku berkedut sembari menunggu jawaban dari arwah Camelia.

"Tidak sama sekali. Hm ... sebelumnya tidak ada sihir seperti yang kau ceritakan. Dan sekolah itu aman-aman saja," ujar arwah Camelia membuat aku hanya menghela napas saja.

"An, aku ingin memberitahumu sesuatu yang penting dan mungkin akan membuatmu terkejut." Aku menatap arwah di depanku heran, tapi tetap saja aku menunggu kelanjutan kalimatnya.

"Perihal mengapa aku bisa mati," katanya dengan nada lirih, untungnya aku masih bisa mendengarnya.

"Kau dibunuh?" tebakku dan dibalas anggukan pelan oleh arwah Camelia.

Aku sebenarnya tidak ingin syok, tapi rasanya sulit sekali. Apalagi jika mendengar kalimat arwah Camelia berikutnya.

"Aku dibunuh Gain, dia meracuniku dengan segelas teh hangat." Bibirku terbuka kecil, tak menyangka Gain yang tampan itu nyatanya seorang pembunuh. Hiks, dia ada gangguan jiwa atau gimana?

"Sebentar, kenapa dia membunuhmu? Bukankah kalian sudah tunagan?" tanyaku teringat hubungan Camelia dengan Gain itu.

"Kami bahkan belum sempat bertunangan, Cam. Kami hanya sering bertemu saja di sini karena keluarga Gain yang berkunjung ke istana," jelas arwah Camelia membuat aku mengangguk-angguk ntah untuk apa.

"Jadi, kapan ayah memberitahumu tentang perjodohan antara dua kerajaan itu?" tanyaku menguak memori otak yang menyimpan banyak pertanyaan tentang dunia ini.

"Hampir masuk tahun keempat aku sekolah di sana," jawab arwah Camelia dan aku mulai memutar otak, berpikir.

"Eh tapi kenapa kau tau tentang perjodohan itu?" Arwah Camelia mengernyit heran, menatapku dengan penuh tanya.

"Gain yang memberitahuku. Dia tiba-tiba datang dan berkata demikian," ujarku.

"Kapan dia menghampirimu?"

"Seusai acara perayaan pesta bunga mekar."

"Harusnya tidak ada yang seperti itu, An. Acara itu tidak pernah ada."

Aku diam, kehilangan kata-kata untuk bertanya lebih lanjut. Begitupun arwah Camelia yang pamit pergi dari hadapanku. Menyisakan aku dan kebingunganku sendiri. Jika sudah demikian, aku harus bertanya pada siapa?

***




A/n:

Voment gais jan lupa xixi

💎sechsten Mai zweitausendeinundzwanzig

Because Of A Reincarnation✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang