eins

1.1K 123 0
                                    

stσrʏ вʏ кσsmσstєrвαng

-



Dua puluh menit yang lalu, aku masih tak percaya berada pada tubuh asing ini. Ah maksudku tubuh baru ini. Tubuh yang tak memiliki tingkat kekurangan setitik pun. Bahkan tadi aku terdiam lama sebelum membalas sapaan dari ibuku di dunia baru ini.

Aku berjalan ke meja rias, kembali melihat pantulan diri di cermin besar itu sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku.

Aku tersenyum sekilas, kemudian berlalu dari cermin besar itu keluar dari kamarku.

***

Di meja makan yang panjangnya bak perosotan kolam renang yang ada di duniaku sebelumnya ini hanya terisi tiga orang. Siapa lagi jika bukan aku dan kedua orang tuaku di dunia sekarang ini. Raja Aloysius dan ratu Darla.

Aku menatap lurus ke depan. Berbagai hidangan pembuka hingga penutup tertata rapi tanpa kurang sedikitpun. Kedua orang tuaku mulai menyantap hidangan pembuka yang tersedia. Sementara diriku masih diam dengan ketakjubanku terhadap hidangan sebanyak ini.

"Camelia, kenapa kau tidak makan?" Aku menoleh setelah mendengar suara wanita di sampingku menatapku.

"A-aku akan makan, tapi aku ingin langsung menikmati hidangan utama saja, Bu," jawabku sedikit gugup.

"Ah begitu rupanya ..." Wanita yang ku panggil ibu itu mengangguk-angguk kecil. "Baik suamiku, apakah kita bisa mulai menyantap hidangan utama? Kasian gadis cantik kita jika kelaparan," lanjutnya disertai senyum yang elegan.

Aku tersenyum simpul menanggapi saat ibuku ini kembali menatap ke arahku.

"Silakan saja, Sayang. Aku tidak mungkin membuat putri kita satu-satunya menunggu," jawab pria itu yang notabene-nya adalah raja sekaligus ayahku.

Ibuku segera menggeser piring berisi ayam panggang yang terlihat sangat lezat itu ke depanku. Membuat aku menyeringai lebar dengan senang.

"Lihat Aloy, putri kita ini ternyata sangat lapar sehingga ia memakannya dengan lahap," ujar wanita itu sembari terkekeh geli.

"Iya, Darla. Aku berharap ia cepat tumbuh dewasa," timpal ayahku itu yang tak ku perhatikan ekspresinya, karena aku sibuk melahap ayam panggang yang super lezat ini.

Baiklah, abaikan saja keanggunanku untuk sementara waktu. Aku merasa sangat lapar dan ayam panggang ini cukup menggiurkan untuk ditelan kerongkongan kecilku.

"Aloy, apakah pihak sekolah sudah menerima Camelia untuk bergabung bersama anak bangsawan lainnya?"

Seketika aku tersedak mendengar penuturan ibuku itu. Apa tadi katanya? Sekolah? Aku sampai tak habis pikir, di negeri kerajaan pun ternyata ada sekolah? Haa ... aku malas sekali rasanya huh!

"Pelan-pelan, Cam." Ibuku menyodorkan air dengan gelas berwarna keemasan itu kepadaku. Tanpa berlama, aku segera meneguknya setelah gelas itu berpindah tangan.

"Pihak sekolah sudah mengabariku bahwa Camelia sudah bisa ikut serta." Ibuku mengangguk seraya tersenyum lebar dengan aku yang menyudahi minumku.

"Bagaimana Sayang? Apakah besok pagi kau sudah siap ke sekolah?" tanya ibuku membuat aku mau tak mau mengangguk pelan.

"Hei, kenapa ekspresimu seperti tidak senang?"

"Ah tidak, Ayah. Aku hanya merasa gugup karena akan bertemu dengan anak-anak bangsawan lainnya," jelasku yang padahal bukan alasan sebenarnya.

"Tidak apa, Sayang. Nanti akan ada pembimbing yang menuntunmu," ujar ibuku diangguki ayahku di seberang yang juga menyudahi acara makannya.

"Mm ... Ibu, apakah tidak lebih baik aku sekolah di rumah saja?" tanyaku dengan nada pelan, takut jika keduanya marah dengan keinginanku.

"Kamu hanya gugup, bukan takut. Jadi ikutlah ke sekolah besok pagi, Ayah akan mengantarmu sampai kelasmu." Ayahku memang tidak bisa kompromi, hmmm baiklah ayo kita turuti saja perintahnya.

"Baik, sekarang kamu bergegas merapikan barangmu, Cam. Ayah akan pergi ke ruang singgasana karena ada keperluan," ujar ayahku itu sembari berlalu pergi meninggalkan aku dan ibuku di meja makan.

***

Sekarang aku sudah berada di kamar ditemani dua orang pelayan yang akan membantu aku menyiapkan keperluan sekolah dadakan ini.

"Tuan putri, apa anda perlu buku?" tanya Sirli, pelayan perempuan berusia sepantaran ibuku.

"Memangnya ada sesuatu yang bisa ditulis selain buku?" tanyaku balik karena tak mengerti dengan pertanyaannya.

"Bukan begitu tuan Putri, aku hanya bertanya saja. Tak ada maksud apa-apa," jawabnya membuat aku memincingkan mata ke arahnya, tiba-tiba curiga.

"Sudahlah Sirli, ayo lanjutkan merapikan barang tuan Putri!" Andem menengahi sembari fokus pada aktivitasnya memasukkan beberapa pena ke dalam tas kulit mewah itu.

Aku hanya mengamati sambil duduk santai di pinggir ranjang. Dan hal itu sudah menjadi tugas seorang putri di kerajaan ini.

"Sudah selesai tuan Putri. Kami izin keluar," ucap Andem mewakili membuat aku mengangguk saja.

Keduanya pun membungkuk sekali lagi, lantas keluar dari kamarku menyisakan aku dan tas yang sudah siap untuk ku bawa esok.

Aku bangkit berniat memeriksa isi tas, aku akan mengeluarkan barang yang tak perlu ku bawa. Siapa yang ingin membawa tas dengan barang-barang tak diperlukan di dalamnya? Hah pasti hanya warga kerajaan yang patuh terhadap aturan.

Sayangnya, aku bukan salah satunya. Jika di kehidupanku sebelumnya aku selalu patuh akan perintah kedua anak bosku itu, maka di sinilah aku akan melanggar semua aturan itu. Hm ralat, sebaiknya hanya beberapa saja demi keamanan dan ketentraman hidupku juga, hehe ....

Baiklah, mari kita mulai memeriksa barang-barang di dalam tas.



"Hei!" Mataku melotot kecil melihat barang apa yang ku temukan di dalam tas. Apa ini? Apakah sejenis sarung pisau? Untuk apa ia berada di tasku?

Aku nemilih mengabaikan benda tersebut, berlanjut menguak isi tas. Dan ...

"Aduh!"

Suer duer spiderman, ini apa? Ular mainan? Kenapa mereka menaruhnya di tasku? Apa mereka menganggapku anak kecil? Dasar!

Ceklek.

"Tuan Putri, ada apa? Kenapa anda berteriak?" Suara tak asing membuat aku mendongak.

"Iya, tuan Putri, apa terjadi sesuatu?" timpal Sirli bertanya.

Aku menatap Andem dan Sirli tajam, harusnya mereka tau apa yang membuatku berteriak.

"Apa ini?" tanyaku seraya menunjukkan ular mainan di tanganku.

"Itu mainan favorit tuan Putri," jawab Andem diangguki Sirli.

Aku mengernyit, yang benar saja Camelia ini suka ular? Haa ... tidak ada petunjuk apapun mengenai tubuh ini. Dan seingatku, kerajaan ini juga tidak ada dalam beberapa dongeng yang pernah ku baca.

"Kenapa kau menaruhnya di dalam tas?" tanyaku sembari menyembunyikan kebingunganku.

"Kata tuan Putri, mainan itu harus anda bawa ke manapun." Aku kali ini memilih mengangguk, malas sekali jika harus bertanya lebih lanjut.

"Baiklah, kalian boleh pergi." Keduanya membungkuk, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan kamarku.

Aku kembali memeriksa tas, mengeluarkan benda-benda aneh yang merusak pemandangan mataku. Dan tersisa hanya buku, pena dan mainan ular tadi.

"Nah begini kan enak, ringan untuk dijinjing."

Setelahnya, aku menaruh tasku di atas ranjang dan merapikan semua benda yang keluar dari tasku tadi. Dan selanjutnya, aku merapikan diriku untuk segera merebahkan tubuhku di atas ranjang empukku.

***









A/n:

Ciao! Jangan lupa tinggalkan voment yak😸

Salam hehew😉

💎Einundzwanzigsten März zweitausendeinundzwanzig

Because Of A Reincarnation✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang