dreizig

69 13 0
                                    

stσrʏ вʏ кσsmσstєrвαng


-

Camelia dan Gain terdiam sejenak, merasa sudah tidak ada yang mengikuti mereka.

"Apakah sudah aman?" tanya Camelia membuat Gain mengangguk.

"Kita istirahat dulu Gain, aku sangat lelah!" ucap Camelia seraya duduk di pinggir sungai dengan airnya yang jernih.

Gain yang mendengarnya tidak tega jika memaksa Camelia melanjutkan perjalanan. "Baiklah kita istirahat sejenak." ucapnya kemudian duduk di samping Camelia.

"Gain, apa kita bisa menemukan sekat itu?"

"Aku rasa bisa, bunga yang kau bawa akan menunjukkannya." jawab Gain sembari berdiri dan melangkah ke arah sungai.

"Apa airnya bisa diminum?" tanya Camelia lagi. Gain tidak menjawab segera, ia memastikan air itu bisa diminum dengan aman.

"Bagaimana?" tanyanya lagi tak sabar ingin minum.

"Bisa diminum, Cam." Gain kembali ke tempat semula, duduk di samping Camelia seraya menyodorkan air dengan wadah botol berwarna perak.

Camelia menerimanya. Lantas meneguk air itu setengahnya, segar juga, pikirnya.

"Gain kenapa bunga ini bisa me─"

Wush!

Suara kesiur angin membuat Camelia menoleh, tak melanjutkan percakapan. Gain yang juga merasakan kesiur angin jadi berdiri tegak. Siaga.

"Sihir Miss Hana?" tebak Camelia yang memang tepat. Karena setelahnya Miss Hana keluar dari persembunyian transparannya.

"Sihir itu ..." Camelia menggantung kalimatnya.

"Tidak perlu basa basi lagi, Cam."  Miss Hana mulai bergerak maju, merapal mantra sihir.

Entah dari mana, akar menjalar bergerak ke arah Camelia. Bersiap mengurung Camelia jika Camelia kurang cepat berteleportasi.

Keduanya saling adu sihir. Sementara Gain berdiri di pinggir sungai. Menunggu sesuatu. Berharap cemas karena Camelia semakin tersudut oleh serangan sihir Miss Hana.

Akar menjalar itu mengejar Camelia yang sekarang berlari dengan cepat menghindar. Berlari seperti ini menghilangkan konsentrasinya. Bahkan ia sampai lupa mantra sihir pelumpuh itu.

"CAM! AKAR ITU MENGELUARKAN GAS!" teriak Gain masih setia di pinggir sungai. Ingin maju membantu, tapi Camelia tak mengizinkannya.

"Apa?" Camelia bukannya tak dengar, namun ia hanya baru sadar sedari tadi ia menghirup udara berwarna hijau lumut itu.

Dengan mantra yang susah payah ia ingat, segera setelah merapalnya, cahaya berwarna merah menyelimuti akar tumbuhan itu. Membuat akar tersebut melemas dan hilang seketika.

Miss Hana yang melihat akar-akar kirimannya menghilang, menggerakkan tangannya membuat kesiur angin.

Camelia tidak hilang akal, ia segera merapal mantra mengangkat batu-batu sungai sekaligus. Setelahnya melemparkan batu itu secara bersamaan ke arah Miss Hana.

Batu itu jatuh berdebum, menghantam wanita bertudung itu hingga menyisakan kepulan debu. Tak ada tanda-tanda Miss Hana keluar dari tumpukan batu-batu. Membuat Camelia menghampiri Gain.

Sesuatu yang ditunggu Gain telah sampai. Seekor naga terbang berwarna putih susu mendekat. Dengan empat orang di atasnya. Siapa lagi kalau bukan Nedvan, Viola dan kedua raja mantan sandraan Miss Hana dan Mister Green.

Tangan Viola terjulur, mengarahkannya pada Gain yang membawa Camelia dengan tangan satunya. Satunya lagi meraih tangan Viola untuk naik ke naga terbang peliharaannya.

Tanpa berlama lagi, naga itu telah melesat pergi ke tujuan utama mereka. Sekat antar dimensi.

***

"Terima kasih, Agan. Kau boleh kembali," ucap Gain lembut pada naga yang ternyata bernama Agan.

Agan mendongak, lantas mulai mengambang kemudian menghilang dari pandangan.

"Dia berteleportasi?" tanya Nedvan dan hanya dibalas gumaman oleh Gain.

Gain mulai menyusul Camelia dan yang lainnya masuk ke gua dengan Nedvan mengekori.

Mereka berjalan pelan melewati gua dengan dinding penuh batu. Untungnya tidak ada kelelawar bersarang pada gua yang sekilas terlihat menyeramkan ini. Jika tidak, tamatlah riwayat mereka harus bertarung lagi. Yang jelas itu sangatlah menguras tenaga.

"Berapa lama lagi kita akan sampai?" tanya Nedvan yang kini berjalan di samping Viola karena Gain sudah maju ditarik ayahnya.

"Sebentar lagi." jawab Viola fokus ke depan tanpa menoleh. Nedvan mengangguk saja, mengerti jika Viola sedang tidak dapat diganggu dengan berbagai pertanyaannya.

Beberapa saat kemudian sampailah mereka pada sebuah sungai jernih yang ... ah sulit menggambarkannya karena airnya memang jernih tak kasat mata. Bahkan bebatuan dan ikan yang ada di dalamnya terlihat jelas.

"Orang yang mancing di sini untung besar," celetuk Viola yang teringat di dunianya ada tempat pemancingan yang rutin dibuka setiap minggunya.

"Kau? Kau tadi berbicara?" tanya Nedvan tak percaya melihat seorang Viola menyeletuk tak faedah.

"Aku tidak berbicara padamu ya," sanggah Viola kemudian melengos, merapat ke samping raja Richardson.

"Ada manusia modelan seperti itu?" gumam Nedvan yang jelas didengar oleh Camelia dan Gain yang sedari tadi memperhatikan.

"Ada." jawab Camelia dan Gain hampir berbarengan.

"Eit kalian menguping pembicaraanku ya?" Nedvan menatap keduanya penuh selidik. Yang ditatap hanya tertawa pelan, kemudian meninggalkan Nedvan.

"Kenapa mereka mesra? Gandengan pula? Ya ampun jiwa cemburuku meronta-ronta!" keluhnya dengan suara pelan. Takut jika kedua insan tadi mencuri dengar perkataannya.

Setelah memastikan memang tidak ada yang peduli dengan gumaman anehnya, ia segera merapat ke samping Viola yang takjub melihat penampakan ikan di dalam air.

"Airnya jernih," gumam Nedvan lagi dan tak sengaja didengar oleh Viola. Viola melirik Nedvan yang kembali bergumam pelan. "Andai juga pikiran bisa sejernih ini, masalah hidup akan kelar."

"Iya, karena otakmu kotor. Itu otak perlu di laundry," sahut Viola merasa jengah karena Nedvan tak henti-hentinya bergumam tak jelas.

"Laundry? Nama orang?" tanyanya mulai kepo. Viola lupa jika ini bukan dunianya, ia menepuk jidat dengan pelan. Menyesal juga mengatakan hal asing pada Nedvan.

"Apa laundry?" ulangnya membuat Viola bingung cara menjelaskan.

"Viola! Nedvan! Kemari!" Aloy berseru memanggil keduanya.

Yang dipanggil segera mendekat. Melihat apa yang sudah ada di hadapan mereka.

"Sekat itu?" tanya Nedvan.

"Hei, kapan kau tak akan bertanya," sahut Viola melirik Nedvan malas. 'Orang ini tidak berpikir dulu apa sebelum bertanya? Huh!'

"Yang bertanya kan aku, kenapa kau yang sewot!" balas Nedvan membuat Viola melengos. 'Viola nyerah Tuhan, Viola nyerah!' Viola tersenyum frustrasi karena menghadapi Nedvan.

"Ayo tancapkan bunga itu." Richardson menyuruh agar cepat sebelum terjadi sesuatu.

"Baik, ayah mertua." Camelia segera menancap bunga itu pada pusaran air kecil yang tidak berbahaya.

Namun ....

DRAK!



















💎achzehnten Mai zweitausendeinundzwanzig

Because Of A Reincarnation✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang