Tala
"Kenapa ya gue masih gak bisa?"
Bermula dari pertanyaan ini, sampai akhirnya lupa sama pertanyaan lain,
"Kenapa ya gue masih gak bisa nerima kalau gue gak bisa?"
Bertahun-tahun pertanyaan-pertanyaan itu selalu ada di pikiran gue dan semakin lama semakin membuat gue frustasi hanya karena dulu gue punya cita-cita tapi nggak kesampaian. Sebenernya apa gue pantes kecewa sama keadaan, supaya gue gak menyalahkan diri gue sendiri lagi untuk gak cukup berusaha. Gue berusaha kok dulu, berusaha banget. Tapi pertanyaannya, apa gue udah berusaha yang terbaik? Apa gue pantas kecewa sama keadaan disaat seharusnya gue kecewa sama diri gue sendiri? Entahlah.
"Gue pengen kayak Abi. Gue pengen masuk Akmil biar bisa lulus AU."
Coba sih gue.
Tapi gagal.
Pernah ada di masa itu gak sih?
Waktu udah yakin banget sama pilihan kalian, "Gue pengen kayak gini dan gue akan jadi kayak gini." Tapi setelah berusaha, ternyata malah gagal.
Lo tau gak kecewa gue setinggi apa?
Setinggi gunung.
Gak ada yang lebih mengecewakan dari meyakini sesuatu yang ternyata gak pernah terjadi.
Gue jadi mikir, kayak.... Kenapa sih? Kenapa setiap kali gue mau buktiin ke orang lain kalau gue bisa... Gue malah gak bisa. Dan akhirnya gue marah. Nyalahin keadaan. Padahal yang gak bisa emang gue. Tapi lama kelamaan gue akhirnya paham kalo ternyata yang nyakitin dari ditolak, mungkin bukan penolakannya. Tapi fakta yang seolah berkata kalau kita gak pantas. Dan setiap merasa gak pantas, ada banyak orang yang punya caranya sendiri untuk merayakan "ketidakpantasan" itu. Ada yang menerima lalu berkata "yaudahlah", ada yang terus menyalahkan diri karena merasa mengecewakan satu dunia, ada yang justru berbalik pergi karena dipenuhi amarah, dendam, sambil berkata pada diri sendiri, "liat aja... gue buktiin gue lebih baik dari lo."
Untuk kasus gue, gue marah waktu itu sih.
Rasanya gue cuma mau jongkok sambil benamin muka gue diantara lutut untuk teriak sekenceng mungkin. Karena gue hampir gak kuat sama semuanya.
Setelah penolakan itu, gue gak pernah lagi menonton acara yang berbau "militer" di televisi. Gue gak suka liat orang tegap berseragam. Bahkan, gue lebih gak suka ketika melihat Abi gue hendak pergi untuk dinas kerjanya di Angkatan Udara.
Sampai di suatu hari.
Waktu gue udah bekerja, Abi udah hampir pensiun, kita duduk berhadap-hadapan di bale-bale rumah cuma untuk bertukar cerita.
Abi bilang,
"Waktu Abi ditolak, Abi marah dan selalu ingin diterima.. Dalam hal apapun itu. Gak boleh ada orang yang menolak Abi."
"Sampai Abi sadar... Satu penolakan ternyata bisa mengubur ribuan harapan Abi."
"Karena belum sempat Abi berharap... Abi sudah keburu takut ditolak. Jadi lebih baik, kubur saja harap itu... Asal Abi bisa diterima."
Butuh 4 tahun buat gue untuk bisa menerima dan berdamai sama masa lalu itu. Meskipun sesekali gue kadang pengen marah dan gak terima, tapi ujung-ujungnya gue gak bisa berbuat apa-apa. Kayak... Mau diapain lagi? Hidup tetap berjalan sebagai semestinya meskipun gue pengennya begini.
What I want to state is... Gagal itu wajar.
Bukan Cuma gagal di bidang akademik, tapi gagal di hidup, gagal di pertemanan, gagal di keluarga, gagal di hal lain. Klise sih memang. Tapi cara pandangnya yang kadang gak klise. Maksud dari "gagal itu wajar" bukan berarti "gak apa-apa gagal". Gagal is a big thing you know. Gagal bikin sedih, gagal juga bikin kecewa. Tapi sama kayak sedih dan kecewa, gagal gak punya hak buat hancurin hidup dan masa depan orang. Jadi bukan tentang, "Gagal itu nggak apa-apa" tapi "Gagal itu wajar".
KAMU SEDANG MEMBACA
La Familia
General FictionHome is where Umi and Abi is. Jika lelah, pulang lagi pada percaya. Karena orang rumah akan selalu merayakan kepulanganmu.