Lonely

364 36 11
                                    

Zucca

Dunia itu ramai banget ya.

Tapi di dunia yang seramai ini, kenapa rasanya masih selalu sendiri? Apa yang hilang? Apa yang salah? Kekosongan ini ada dan tumbuh munculnya tiba-tiba. Dan gak ada yang pernah tau apa penyebabnya.

Waktu itu gue pernah dateng ke konser jazz. Everybody was dancing to the music, laughing and bringing their friends... Dan gue tiba-tiba berdiri di belakang, menyendiri dan menjauh dari temen-temen gue dan semua keramaian mereka... Lalu entah kenapa gue ngerasa kosong aja di dada. Tanpa sadar gue mengeluarkan air mata. Bingung sama apa yang terjadi, dengan lagu menyenangkan yang mengiringi kesedihan gue.

Selama ini gue baik-baik aja kok. Gue jalanin hari-hari gue seperti orang biasa. Kalaupun ada masalah, gue selalu memaklumi karena emang hidup begitu gak sih?

Tapi semenjak tangisan gue sendirian malam itu di konser musik jazz. Gue untuk pertama kalinya bilang sama diri sendiri.

Gak, Zu.
Lo gak lagi baik-baik aja.

Waktu dunia lagi ramai-ramainya, gue malah lagi sepi-sepinya. Rasa sepinya semakin besar dan melebar ketika gue berada di tengah kerumunan itu. Pengen berbagi apa yang dirasa, tapi cuma bisa jadi sebatas hal yang gak bisa di ungkapkan. Dan ketika terlalu berusaha keras untuk menutupi perasaan yang sebenarnya... Gue jadi semakin kesepian.

Kalau ditanya kenapa sering ngeluh, sering capek, sering sedih tanpa tau alasannya, sering ingin berdiam diri dan lepas dari siapapun... Jawabannya ya gak tau. Tiba-tiba aja ngerasa kayak gitu, tiba-tiba ngerasa jadi titik kecil diantara kertas besar yang penuh sama gurat-gurat indah, ngerasa nol padahal diluar sana banyak angka besar yang siap bertambah lebih.

Gak ada jawaban. Gak ada caranya juga untuk keluar dari pola pikir ini. Cuma bisa berdoa aja supaya waktu lebih ramah dan berbaik hati, untuk membiarkan masa 'selesai' nya datang. Khusus untuk sekarang, cuma bisa menikmati. Karena setiap fase dalam hidup bukan seperti tutorial di aplikasi yang bisa di skip.

Pada akhirnya, gue hanya ingin mengucapkan terima kasih sama diri sendiri karena sudah sesabar ini menunggu kebaikan waktu.

Senin ini berbeda dengan senin-senin lainnya karena pagi ini gue dilibatkan sama urusan adik gue yang harus pergi ke luar kota. Biasanya gue langsung menolak mentah-mentah permintaan dia, tetapi semalam Umi yang meminta gue secara personal jadi ya mau gak mau gue mengiyakan.

"Kamu nanti sekalian langsung ke sekolah?" Lamunan gue buyar ketika suara Umi terdengar.

"Iya."

"Ngantuk ya? Mau Umi bikinin kopi?"

Gue menggeleng. "Nggak usah, Mi."

"Bener?" Umi yang daritadi sibuk menyiapkan sarapan yang akan dibawa Ian langsung menoleh pada gue.

"Kebanyakan minum caffein gak bagus kan, Mi."

"Tumben..." Umi nyahut dengan nada menyindir. "Yakin nih?"

Gue ketawa. "Umi lagi kenapa deh?"

"Bazu punya Umi," Umi jawabnya malah beda. "Kalau ada apa-apa, Umi siap nyediain telinga buat kamu."

Umi selalu tau.

Tepat sasaran, gak pernah meleset.

"Bazu," Sadar daritadi gue hanya diam, Umi kembali bersuara lagi. "Are you okay?"

Gue menghela napas lelah. "Hm."

"Umi nih udah jadi ibunya kamu bertahun-tahun, jadi kamu gak bisa bohong sama Umi."

La FamiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang