letting go

452 61 19
                                    

Tala

Gerobak eskrim.

Kalau ngeliat foto waktu kecil, rasanya masa-masa itu baru aja berlalu.

Sepahit-pahitnya kekecewaan adalah saat grobak eskrim keliling beserta suaranya sudah menghilang disudut jalanan pas kita baru buka pintu rumah.

Sekarang gue sadar. Kalau alasan kita kecewa dan menangis sewaktu kecil itu nggak pernah sederhana. Pada masanya, masalah itu terasa berat banget. Bahkan sekedar melewati kesempatan beli eskrim yang esok hari akan datang lagi.

Terus kenapa sekarang ngerasa cemen banget kalau inget alasan-alasan kita nangis waktu kecil? Karena cara pandang kita yang sudah bukan anak-anak lagi. Menangisi gerobak eskrim terasa cemen karena masalah yang kita pikul sekarang adalah gimana caranya lulus tepat waktu, nyari kerja, bayar tagihan, keep up dengan ekspektasi A-Z dan sebagainya.

Ternyata kenyataannya, masalah masa kecil kita dulu nggak pernah benar-benar meninggalkan kita. Mereka hanya datang dengan bentuk yang baru.

Mungkin ketika membaca ini lo sedang dilanda masalah yang lagi berat banget. Hingga menguras nafsu makan lo, membuat sembab kantung mata lo, dan mengurung diri di kamar tanpa melakukan apa-apa seakan menjadi pilihan satu-satunya.

Namun gue ingin mengingatkan lo.

Seberat apapun masalah yang lo alami saat ini, nggak boleh mengambil semua tawa, semangat, dan gairah lo untuk memulai lagi.
Kita semua punya garis mulai yang berbeda. Bukanlah terlambat artinya jika orang yang ada disekeliling lo udah berlari lebih dulu. Satu langkah demi langkah, meski pelan namun itu yang lo butuh.

Bertahanlah.

Hingga saat dimana lo melihat masa lalu lo yang berat, gak jauh berbeda dengan menangisi gerobak eskrim yang sudah lewat.

Di keluarga besar gue dari pihak bokap, kita diajarkan bahwa tanpa ibu, kita bukan apa-apa. We can be anything out there, tapi kalau udah di rumah dan sama ibu, kita semua gak pernah ngotot apalagi sok pintar. Gue selalu merasa doa seorang ibu untuk anak-anaknya itu adalah doa paling manjur, doa paling luar biasa, doa yang pasti di dengar Tuhan. Gue ngerasain hal itu berkali-kali. Orang tua gue gak akan ada selamanya. Saat mereka masih ada disini, baik-baiklah sama mereka. Terutama ibu.

Meskipun Umi gue bisa dibilang didikannya seperti Adolf Hitler, kejam banget. Tapi gue bisa bilang kalau Umi berhasil mendidik anak-anaknya sampai mereka beranjak dewasa.

Pengalaman gue sama Umi waktu kecil itu seru banget. Ada yang seneng, ada yang sedih, ada yang absurd, semua campur aduk.

Kayak waktu dulu pas gue kelas 1 SD, gue adalah anak yang rasa ingin tahunya tinggi sekali. Dulu halaman rumah gue tuh kan kayak buat bunga-bunga nyokap gue, bahkan sampai sekarang rumah gue dipenuh bunga-bungan sama taneman-taneman segede gaban pokoknya udah kayak di Kebun Raya Bogor deh rumah gue. Gue demen dulu main disitu terus ada samsak Abi gue juga. Setiap halaman pasti ada rumput-rumputnya dong, nah disetiap rumput tuh pasti selalu ada semutnya. Gue waktu itu sok-sokan jadi raksaksa gitu, semutnya gue gepeng-gepengin pakai telunjuk.

"HAHAHAHAHA RASAKAN KAU!"

Gue bilang kayak gitu udah kayak orang idiot.

Terus entah terlintas dari mana, gue mikir kalau makan semut kayaknya enak nih. Tanpa berpikir lebih lama lagi, itu semutnya gue beneran makanin. Tau gak yang bikin kagetnya apa pas gue makan itu semut? Rasanya manis.

Sejak saat itu makanan favorit gue adalah semut merah. Sampai seminggu kemudian, akhirnya ketahuan sama Umi gue. Terus gue di hukum sama Umi, disuruh duduk di toilet terus gue di guyur sampai gue gelagapan keabisan oksigen.

La FamiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang