when it's over and i let all go

179 16 6
                                    

Sebastian

Gue selalu suka berkelana ke sebuah tempat yang jauh yang belum pernah gue datangi.

Berlin.

Satu hal yang gue tau tentang Berlin adalah kita nggak perlu tau apa-apa tentang kota ini. Membingungkan memang. Gue berkata demikian karena cukup dengan keinginan yang kuat untuk mengeksplorasinya, maka lo akan berada di sebuah labirin misteri yang mencekam dan menawan pada saat bersamaan.

Berlin begitu "gelap" dan misterius. Setiap sudut kota ini seolah mampu bercerita dengan caranya sendiri. Lo bisa merasakan banyak energi yang ada di sana entah itu perasaan sedih, marah, hangat, ataupun euforia kebebasan dan cerita kelam mereka.

Berlin mengajarkan gue untuk mulai kembali menggunakan indra perasa dalam memahami hal-hal yang tersirat, yang jujur sudah jarang gue gunakan dalam memahami kehidupan sehari-hari di kota kelahiran tercinta. Hari-hari yang gue pikir berjalan biasa-biasa aja menjadi salah satu perjalanan kultur terbaik yang pernah gue rasakan dalam hidup.

Bagaimana tidak, kota ini adalah kota yang "seolah-olah" melarang masyarakatnya untuk berlaku dan berpikir mainstream. Mulai dari scene musik (Techno Clubs), seni lukis jalanan (Grafitti), kebebasan berekspresi dan disiplin waktu tingkat dewa yang bisa membuat pemalas sekalipun bertekuk lutut pada sistem kotanya.

Lalu bagaimana dengan masyarakatnya? Apakah mereka intimidatif terhadap pendatang? Menurut gue sih, jangan mudah bawa perasaan di sini. Karena Berliner memiliki caranya sendiri dalam memberikan perasaan selamat datang pada pengunjungnya. Masyarakat di kota ini sangat apa adanya. Lurus, langsung, tanpa basa basi. Lo dinilai dari ETOS. Ketika lo dinilai "memiliki HAL baik" maka lo akan diperlakukan dengan baik, begitu pula sebaliknya. Aturan adalah aturan, titik.

Kalau lo penikmat musik, penikmat seni, dan penikmat kebebasan bereskpresi. Lo semua gue doain bisa datang ke sini jika "sempat" dan lo akan merasakan begaimana Berlin menyentuh lo dengan caranya.

Sayangnya hari ini gue harus pulang meninggalkan Berlin.

Sebenarnya gue masih ingin tinggal lebih lama disini, tapi gue nggak bisa ninggalin tanggung jawab gue sama kerjaan yang sudah menunggu.

"Bian, udah minum tolak angin kan?" Karena gue sempat mengunjungi club terbaik disana tepatnya di Berghain, jadi lah suara gue bindeng. Dan setiap gue bindeng, Umi selalu sebut Tolak Angin. Gak ada yang lebih penting di dunia ini kecuali Tolak Angin.

"Iya Umi, udah. Ini lidah aja masih berasa nih rasanya tolak angin."

"Jangan lupa pakai baju tiga lapis yah! Nanti dingin di pesawat."

"Iya Mi, udah nih Bian udah mau masuk pesawat nih. Udah yah! Assalamualaikum!"

"Ya waalaikumsalam! Hati-hati ya Bian! Whatsapp Umi kalau udah sampai!"

Umi gak akan peduli kalau anak-anaknya udah tua bangka, dia akan tetap menganggap anak-anaknya yang harus selalu dia jaga dan dia sayang. Tentu dengan segala kekurangan setiap anak-anaknya. Beda sama Abi yang sekarang cuma Whatsapp.

Abi : Bian hari ini pulang kan?

Abi : Ingat judul lagu tulus yang baru ya Bian

Abi : Hati hati di jalan

Abi : (kirim stiker)

Tentunya dengan stiker Bajaj andalannya yang gak tau dapat darimana -ngihaaa.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

La FamiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang