Ourselves

339 42 7
                                    

Dio

Sejauh ini, semua gak segampang yang dikira. Gak segampang, "Pasti bisa, semua orang ngalamin kok." Gak segampang, "Udah disakitin, gak ada pilihan lain selain lupain." Gak segampang, "Di dunia ini masih banyak orang yang bisa bahagiain lo."

Sampai sekarang masih mencoba, dan memang, gak segampang itu.

Gak semua orang bisa paham, gak semua orang bisa nerima. Perjalanan setiap orang beda-beda. Ada yang panjang, ada yang pendek, ada yang liku-liku, ada yang lurus.

Dan dengan demikian, lo gak perlu minta semua orang memahami lo. Gak perlu minta semua orang mengerti lo. Dan dengan begitu juga, lo gak harus berusaha keras untuk dipahami. Gak perlu memaksa diri untuk diterima.

Biar semua orang memahami diri mereka sendiri. Biar kita semua menerima diri kita sendiri.

Selalu ada ruang untuk kita jadi diri sendiri. Selalu ada ruang untuk kita duduk, dan mencoba untuk mengenal siapa kita. Selalu ada ruang untuk menerima setiap rusak dan indah kita.

Tapi pertanyaannya....

Kapan kita punya waktu untuk diri sendiri?

Sejujurnya gue pengen banget bisa paham sama diri sendiri. Kenapa bisa tiba-tiba capek padahal gak ngapa-ngapain? Kenapa kecewa banget padahal udah tau akhirnya akan begini? Kenapa marah tapi cuma bisa berakhir diam? Kenapa nangis padahal selalu bilang baik-baik aja? Pengen banget. Sekali aja. Mencoba paham sama perasaan sendiri.

Ada kalanya kadang gue pengen sendiri. Bukan karena nggak butuh orang lain. Melainkan butuh spasi untuk kasih napas sama diri sendiri. Spasi untuk bertanya.

"Siapa sih gue?"

"Apa yang gue mau?"

"Kenapa gue begini?"

Spasi untuk bisa menjadi sosok yang lebih baik. Spasi untuk bisa mengenal dan dikenal sebagai diri yang seutuhnya apa adanya.

Buat kalian, hari ini udah kasih spasi belom sama diri sendiri?

Semoga hari ini kita bisa merdeka untuk jujur dengan perasaan sendiri. Merdeka untuk perasaan kita.

Gue pikir gue lagi berhalusinasi karena gue melihat sosok yang gue kenal memakai kemeja putih dan jas hitam rapi sambil bawa draft tugas akhir yang sebentar lagi tinggal ditanda tangani pembimbing dan penguji.

"Gue tau lo pasti disini."

Dari awal kuliah gue punya basecamp sendiri di kampus. Mau tau dimana? Rooftops gedung fakultas gue. Tempat ini bikin gue ngerasa damai, bukan karena sepi dan nggak ada siapa-siapa. Tapi tempat ini bikin gue sadar kalau Tuhan memang adil. Langit tuh indah, tapi dia kesepian dan nggak seramai bumi. Sebaliknya. Bumi itu nggak pernah kesepian dan selalu ramai. Tapi dia nggak seindah langit. Tuhan tuh adil. Lo nggak akan terus-menerus sedih atau senang. Dan meskipun begitu, lo tetap harus menjalani keduanya.

"Rapi amat lo gue liat-liat." Gue memandangnya dari atas sampai bawah. Nggak kerasa salah satu diantara kita udah ada yang sidang duluan. Hampir setiap semester baru, kita pasti isi KRS barengan. Mau kita berdua lagi diem-dieman kek, lagi berantem kek, ujung-ujungnya tetep aja kalau urusan kampus, hidup dan mati gue sama dia.

"Iya nih, gue mau kondangan."

Tawa gue pecah. "Masih bisa bercanda lo ya?"

"Jangan serius-serius amat sih." Dia menyikut lengan gue. "Santai aje wak."

"Yakin pasti lulus lo?"

"Si anying! Doain gue lulus lah..." Gue ditoyor. "Ngomong sekali lagi, lo gue jorokin ya dari atas sini!"

La FamiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang