Kharel
Dulu gue selalu ngerasa sendirian dan nggak punya siapa-siapa. Ya memang kenyataannya seperti itu, karena gue dulu sempat sekolah pariwisata di Singapura, lalu gue ikut kapal pesiar dan join bagian dapur selama dua tahun. Mulai dari helper, gue diangkat jadi asisten chef. Dengan duit hasil kerja, gue memutuskan untuk lanjut sekolah dua tahun di Prancis, tapi gak kelar karena kehabisan duit. Umi sama Abi nggak pernah tau kalau gue di Prancis itu sekolah, karena mereka cuma tau kalau gue bekerja disana. Akhirnya setelah itu gue balik berlayar lagi selama enam bulan.
Iya, lingkungan tempat gue kuliah, kerja, kuliah, sampai kerja lagi bikin gue ngerasa nggak punya siapa-siapa.
Awalnya gue gak terima.
Gue selalu mikir kayak...
Kenapa semua orang gak baik sama gue?
Kenapa gue berjuang sendirian?
Kenapa gak ada yang pernah denger gue?
Tapi pelan-pelan, pas gue akhirnya bisa punya waktu buat kasih spasi ke diri sendiri... Gue baru sadar kalau ternyata ada beberapa orang yang sering gue lewatin. Mereka selalu ada buat gue selama ini, tapi gue justru yang gak melihat mereka karena gue berharap orang lain yang melihat gue.
Hubungan gue sama orang tua gue pun dulu nggak semulus itu. Gue sama kok kayak kebanyakan orang... Sering berantem sama orang tua, apalagi sama ibu sendiri. Nggak tau ya kenapa tapi gue dulu tuh sering banget bete dan kesel sama Umi karena gue paling nggak bisa dibawelin kayak... Duh, berisik. Kalau ada apa-apa yang gue cari selalu Abi dan nggak pernah sekalipun gue ngerasa butuh Umi gue sendiri. Bahkan ngobrol atau sekedar kirim pesan sama Umi aja gue jarang banget dan biasanya obrolan-obrolan yang kita tukar adalah obrolan yang mungkin biasa dikatakan oleh orang-orang asing... Orang-orang yang bukan ada dalam hubungan satu keluarga apalagi hubungan seerat ibu dan anak.
Gue masih ingat sekali waktu pertama kali Umi mengirimi pesan yang panjang banget dan waktu gue membacanya entah kenapa air mata gue mengalir begitu aja tanpa bisa di tahan.
Isi pesan Umi...
"Maaf ya Kharel, Umi belum bisa jadi ibu yang baik buat kamu. Dan rasa-rasanya sudah terlambat untuk meminta kamu jadi dirimu sendiri dihadapan Umi. Mungkin kamu merasa Umi gak perlu tau dengan apapun yang kamu alami sekarang. Mungkin kamu merasa kamu sudah dewasa dan gak butuh Umi lagi. Mungkin ada orang lain yang jauh lebih mengerti kamu dibanding Umi. Mungkin di mata kamu, Umi gak lebih dari ibu-ibu lain... Ibu-ibu yang tidak mengenal kamu, ibu-ibu lain yang tidak paham siapa kamu dan tidak ingin mendengar kamu. Tapi Umi ingin kamu tau, kalau kamu ingin menangis dan berharap ada seseorang yang bisa memeluk kamu... Umi selalu ada disini, untuk kamu. Dan Umi akan selalu menunggu sampai kamu akhirnya bisa bicara sama Umi... Selama apapun itu."
Sebodoh itu gue dulu.
Bodoh karena gue nggak menyadari ternyata selama ini Umi selalu berusaha meraih gue tapi gue nggak pernah peka menangkap sinyal-sinyal darinya. Tapi dari situ, gue coba perbaiki semuanya sampai akhirnya ya gue jadi bisa lebih terbuka lagi sama ibu gue sendiri dan nggak membentengi diri ketika berhadapan dengannya. Lalu gue jadi sadar kalau ternyata semuanya jadi lebih baik ketika dekat dengan orang tua. Dan satu hal yang selalu gue yakini, bahwa doa ibu untuk anaknya itu sakti banget, nggak pernah meleset.
Mungkin, hari ini memang berat. Mungkin, hari ini lo udah lelah dengan janji, "esok akan lebih baik." Nggak ada yang tau sebanyak apa air mata lo, nggak ada yang tau betapa enggannya lo untuk mengeluh lagi. Mungkin, lo hari ini pengen semuanya berakhir. Mungkin, hari ini lo pengen ditanya, "kamu baik-baik aja?"
Tapi ketahuilah...
Selalu ada orang yang bersedia mendengar lo. Selalu ada orang yang lega mendengar kabar baik lo. Dan selalu ada orang yang ingin menjaga lo walaupun raganya jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Familia
Ficción GeneralHome is where Umi and Abi is. Jika lelah, pulang lagi pada percaya. Karena orang rumah akan selalu merayakan kepulanganmu.