Fight Through It

270 35 11
                                    

Dio

Kalau boleh jujur, dari dulu tuh gue gak pernah suka sekolah. Seandainya aja kalau gue bisa eliminasi satu bagian dari hidup gue kayak di AFI, mungkin gue akan mengeliminasi sekolah dan belajar dari hidup gue. Tapi sayangnya gue gak bisa, karena gue lagi-lagi cuma bisa berandai-andai.

Tapi Abi gue tuh selalu bilang, "Kalau kamu pikir sukses itu datangnya dari sekolah, kamu salah. Karena sebenarnya sukses itu datangnya dari kerja keras. Sayangnya, banyak orang yang gak paham kerja keras itu datangnya bagaimana dan dari mana. Kerja keras itu pasti selalu datang dari sesuatu yang gak pernah kita suka. Jadi, kalau misalnya kita nggak pernah melakukan sesuatu yang kita gak suka, kita gak akan pernah tau rasanya kerja keras, dan akhirnya... Kita gak bisa sukses."

Itu kalimat motivasi Abi supaya gue gak malas belajar, padahal tetep aja ujung-ujungnya gue males belajar. Kebetulan gue punya orang tua yang gak ribet. Menurut mereka, sekolah dimanapun itu ya sama aja. Lebih bagus lagi kalau sekolahnya tuh di deket rumah, bisa naik angkot atau ojek, atau bahkan kalo bisa jalan kaki. Jadi, gue gak perlu tuh harus sok-sokan masuk negeri atau sekolah unggulan.

Di angkatan gue ada lima orang di kampus yang lanjut PhD. Gue salut sekaligus heran sama orang-orang yang doyan kuliah. Enggak tau kenapa ya gue tuh kalau berada di payung akademik rasanya dark dan suram banget. Gue kayak merasa jadi the worst version of myself.

Gue merasa bodoh.

Gak capable.

Gak mampu.

Bahkan di jaman gue SMP dulu, ketika saat pengambilan rapot tiba, gue selalu berusaha tutup kuping ketika wali kelas gue berbicara sama Umi. Kalimat yang selalu dia sampaikan dari tahun ke tahun, "Dio harus sering belajar di rumah ya, Bu. Mohon bimbingannya."

Kesel tau dengernya, karena seolah-olah Umi gak pernah ngebimbing gue di rumah. Meskipun Umi tuh dulu aktif banget sama kegiatan organisasi PIA Ardhya Garini karena Umi termasuk istri tentara. Sedikit orang yang tau, kalau Umi selalu menyempatkan waktunya sepulang dari kegiatannya bersama persit lainnya untuk mengatur buku-buku gue sesuai jadwal di tas, melihat agenda gue, bahkan membantu gue menyelesaikan pekerjaan rumah karena gue sering nggak tau cara menjawabnya.

"Mi."

"Ya?"

"Jelek lagi ya nilai Didi, Mi?"

Setiap kali mendengar cerita teman-teman yang dimarahi karena nilai jelek hingga akhirnya mereka sering menyembunyikan kertas ulangannya atau kadang langsung dibawa ke tempat sampah biar gak ketahuan. Tapi sumpah deh, Umi tuh gak pernah marah meskipun nilai anak-anaknya jelek, bahkan ketika gue mendapat angka 3,5 di kertas ujian matematika gue dia santai banget dan gak sampai bereaksi yang over gitu.

"Ya iya sih jelek, tapi naik loh nilainya ketimbang waktu kamu di Semarang dulu." Nada bicaranya sangat santai.

"Tapi kan tetep jelek, Mi. Didi aja gak bisa masuk SMA kayak anak Umi yang lainnya karena nilainya gak cukup." Iya, karena nilai gue yang bagus cuma olahraga doang, sisanya jeblok. "Umi gak marah?"

"Loh, memang misalnya kalau Umi marah, bakal ada jaminan nilai kamu akan naik?" Satu hal yang gue suka kalau Umi jemput ke sekolah adalah kita pasti selalu mampir ke Bendungan Hilir untuk makan Sate Padang. "Nanti Umi mirip lagi sama ibunya Nobita kalau marah, terus kamu ujung-ujungnya sama seperti Nobita yang lebih sayang Doraemon ketimbang Ibunya."

Dari dulu gue gak pernah bete ketika mikirin nilai, tapi perkataan Pak Azis selaku wali kelas gue waktu itu. "Orangtua mu itu kan pinter. Buktinya ayahmu pilot pesawat tempur, ibumu dulu atlet nasional yang berprestasi. Harusnya kamu, anaknya, juga ndak boleh males-malesan, to? Kasihan ayah ibumu malu kalau sampai nilai anaknya dibawah rata-rata."

La FamiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang