Relation

417 47 16
                                    

Kharel

Entah kenapa malam ini rasanya sulit banget tidur. Kalau gak mikirin, "Gimana kalau nanti gue gak bisa." Palingan mikirin, "Kenapa dulu kayak gitu sih?"

Aneh ya emang diri ini. Mikir kerasnya kok pas mau tidur. Giliran bangun, gak buat apa-apa. Semakin lama mata terpejam, yang diinget semakin dalam. Mereka yang udah pergi, kembali. Semua yang sudah selesai, dimulai lagi. Tapi itu semua cuma berhenti sebagai ingatan. Dan gak apa-apa. Malam ini justru menyenangkan. Karena dia gak nyata.

Ada masa di mana mengingat jadi cara untuk merelakan. Kayak, ya udah. Mau diapain lagi? Toh udah gak ada yang bisa diulang untuk di perbaiki. Kayak, ya udah. Rela bukan berarti harus maksain diri untuk melupakan yang pahit-pahit. Karena ada beberapa orang yang butuh masa pahit, untuk bisa bangkit.

Dulu, tumbuh dewasa adalah mimpi terbesar gue. Bekerja, ketemu orang baru, bercita-cita, mewujudkannya mengemban kasih, berterima kasih. Betapa dulu, tumbuh dewasa selalu jadi terang yang paling bersinar dari semua mimpi gue yang lain. Dan ketika tumbuh sebesar ini, dewasa dengan semua peluh dan harap yang tak abadi dan menyuruh gue untuk bermimpi lagi.

Hingga akhirnya gue sadar kalau dewasa itu mengerikan. Dewasa itu membawa rasa sakit baru. Saat ini gue hanya ingin bahagia lahir batin dan menjalani hidup semampunya aja. Hidup itu gak selamanya tentang diri kita sendiri, hidup itu terlalu ringkih untuk gak merasakan sakit hati. Maka nikmati aja. Selagi gue bisa menikmati hari-hari, ya udah nikmatin aja.

Karena gue gak bisa tidur, gue memutuskan buat keluar kamar dan duduk sebentar di balkon sambil lihat langit. Gue pikir malam ini hanya gue sendiri, tetapi gue melihat dia yang lebih dulu ada disana. Duduk sendirian dan tenggelam dengan pikirannya.

Gue meliriknya dengan ujung mata sambil menghela napas panjang. Dengan perlahan gue berjalan mengendap-ngendap ke arahnya. Ketika semakin dekat gue mendengar suaranya samar-samar yang keluar dari bibirnya.

"Ah... Fuck..."

Gumaman itu terdengar jelas dan ini bukan pertama kali.

"Gue capek."

"Kenapa sih hidup gue begini banget."

Gue menghabiskan waktu sekian menit hanya untuk mengamati wajahnya dalam diam.

He meant it.

Dia capek.

Because he looks tired for real.

Seperti ada sesuatu yang ingin membuatnya pergi jauh. Ada sesuatu yang ingin membuatnya berhenti tapi dia gak pernah bisa. Lalu gue seperti melihat sebuah cermin besar dengan refleksi diri gue sendiri pada dirinya.

Pasti dingin, di tempatnya dia sekarang. Angin malam menerobos kulitnya tanpa permisi. Gak ada siapapun, hanya sendiri. Mengeluh, entah pada siapa. Tapi kadang, kita hanya ingin mengeluh saja.

Entah kenapa gue memutuskan buat berbalik ke kamar lagi untuk mengambil sebuah selimut hanya untuk menutupi tubuhnya. Dia gak bereaksi apa-apa. Sampai akhirnya gue ikut duduk disebelahnya.

"Rel..."

Suara paraunya terdengar setelah beberapa menit kami berdua hanya tenggelam dalam keheningan.

"Bulan tuh adil ya... Dia jadi terang saat sekitarnya gelap. Meskipun bulan gak disukai banyak orang dan gak indah tapi dia sebenernya hanya ingin menjadi dirinya sendiri... Menjadi bulan. Bulan biasa yang bulat, yang utuh dan juga lengkap."

Sekarang, cuma ada suara angin dan sesekali suara jangkrik yang bersahut-sahutan, penanda malam sudah larut. Gue hanya diam, karena gue tau dia hanya ingin didengarkan.

La FamiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang