Kharel
Tiap keluarga pasti punya ceritanya masing-masing. Entah itu cerita baik atau buruk sekalipun. Kalau ada yang bilang orang tua adalah seseorang yang kasih kita hidup, tapi buat gue, mereka adalah hidup gue.
Di depan Umi dan Abi, gue nggak pernah takut untuk dihakimi sekalipun gue gagal. Gue juga nggak pernah sungkan untuk bertanya mengenai hal-hal yang gue nggak ngerti dalam hidup.
Gue sempat berpikir, "Apa semua orang pernah ngerasain yang namanya putus asa?" Karena ingatan gue kembali pada kegagalan waktu dulu. Berat rasanya untuk mengingat sesuatu yang sangat sulit yang pernah gue lalui. Bawannya pengen lupa ingatan dan hidup lebih baru lagi. Tapi dari sekian tahun gue hidup, kegagalan itu ada di dalamnya.
Ibarat sebuah makanan, kegagalan itu adalah salah satu bumbu dan hidup gue adalah resepnya. Gue tumbuh menjadi sebuah sajian makanan, dengan kegagalan yang membuat gue jadi penuh rasa. Karena kegagalan itu juga, gue tau rasanya putus asa.
Tapi, lagi-lagi gue perpikir. "Apa semua orang pernah merasakan yang namanya putus asa?"
Saat itu, gue sempat bertanya sama Abi yang lagi duduk di teras depan sambil baca koran. Lalu jawabannya membuat rasa penasaran gue terjawab.
"Kharel, semua orang di muka bumi pasti pernah merasakan putus asa. Kalau kamu bertanya apakah itu wajar? Bagi Abi tidak. Sesuai namanya, Pu... Tus.. Asa. Asa yang putus, harapan yang pupus. Putus asa itu tidak wajar, dan kita manusia, seringkali memang tidak wajar. Jadi, wajarlah dengan ketidakwajaran kita."
Bagi gue, Abi adalah pilar keluarga. Yang kokoh merekatkan semua. Memastikan semua baik, sentosa. Tidak mundur. Tidak lelah.
Kalau berbica tentang Umi, gue bisa bilang kalau dia adalah perempuan paling kuat yang pernah gue kenal. Umi nggak pernah capek ngurusin lima anaknya sendirian ketika Abi berangkat dinas ke pelosok negeri karena pekerjaannya. Umi itu orang paling baik dan tersabar yang pernah gue tau. Umi itu orangnya periang, semangat, cantik tapi tomboy, temennya kebanyakan cowok. Dia juga perenang tingkat nasional pas SMA dan gak jarang meraih juara satu.
Tahun 2010, Umi terkena penyakit kanker payudara stadium 2. Dan hebatnya, dia bisa nyembunyiin itu semua dari anak-anaknya. Dan kenapa kami semua anak-anak Umi nggak nyadar soal penyakit Umi? Karena Umi gak pernah ngeluh soal penyakitnya sama sekali. Gue baru tau Umi kena penyakit itu waktu dia Chemotherapy, karena dia kehilangan semua rambutnya. Selang beberapa bulan, setelah Umi menjalani beberapa pengobatan, seperti check up dan lain-lain, akhirnya semua kembali normal. Kami bisa jalan-jalan lagi dan kondisi Umi jauh lebih baik dari sebelumnya. Sampai akhirnya dokter bilang kalau kanker Umi sudah benar-benar hilang, disitu gue dan anak-anak Umi yang lainnya langsung menangis sambil berpelukan satu sama lain layaknya teletabis.
Tanpa Umi, kami semua bukan apa-apa. Meskipun kadang hobi Umi ngomel, tapi ada satu waktu dimana gue kangen diomelin Umi, gue kangen cerewetnya Umi kalau gue udah kelewatan nakalnya.
Pernah waktu itu gue dulu waktu SD suka banget nyemilin es batu, jadi tiap ada yang bikin es batu di kulkas, suka gue colongin. Pas banget gue pulang sekolah terus gue langsung ngacir ke dapur buat ngambil es batu di kulkas. Terus gue buka dong itu kulkasnya, eh ternyata nggak ada, yaudah gue protes sama Umi gue.
"Mi, kok es batu gak ada!"
"Iya Umi gak buat tadi lupa."
"AH TERUS KHAREL NYEMIL APA?"
Kali ini bukan Umi yang bentak gue, tapi gue yang bentak Umi. Sungguh cerminan anak durhaka. Yaudah akhirnya gue ngambek sama Umi, gue bahkan nggak ngomong sama dia selama 3 jam. Sampai akhirnya gue yang jenius ini mendapatkan ide cemerlang, gue melirik kulkas gue sembari otak gue berjalan, "Kan ada freezer, pasti dingin." Gue bergumam sambil cengar cengir kayak orang gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Familia
General FictionHome is where Umi and Abi is. Jika lelah, pulang lagi pada percaya. Karena orang rumah akan selalu merayakan kepulanganmu.