Closer (7)

1K 148 14
                                    

"YAK! MEMANG DASAR SIALAN--"

Hyun Jae baru saja mau memukul Jisoo, namun dia kembali mendapatkan siraman teh panas dari seseorang di belakangnya.

"YAKKK!!"

"Ah, maaf. Tanganku tergelincir."

Dan yang tak lain dan tak bukan, orang itu adalah Seokmin.

Seokmin berdiri di belakang Hyun Jae, masih dengan baju seragamnya dan tas yang tergantung di punggungnya. Tak ada penyesalan di wajahnya setelah menyiram Hyun Jae dengan teh yang panas

"SIAPA KAU?! TIDAK SOPAN!"

"Sampah seperti mu tidak pantas untuk tau siapa aku."

Jisoo menyaksikan bagaimana Seokmin berbicara dengan tatapan yang terlihat sangar, tak ada senyum Seokmin yang selalu ia lihat seperti biasanya.

"Kau hanya anak sekolahan! Tidak usah ikut campur urusan orang lain! Menyiramku dengan teh panas, apakah orang tua mu tidak pernah mengajarkan sopan santun?!"

"Orang tua ku tentu mengajarkan sopan santun, tapi aku juga paham, orang yang sepertimu tidak pantas untuk dihormati."

"APA MAKSUDMU?!"

"Berkata kasar dengan suara yang keras dan ingin melakukan kekerasan pada orang lain. Kau pikir perlakuanmu merupakan bagian dari sopan santun?!"

Hyun Jae diam, tak bisa menjawab semua ucapan yang diutarakan oleh Seokmin.

"Kau mengatakan bahwa dia materialistis? Hah... kurasa dia sama sekali tak meminta mu untuk membelikan semua barang-barang yang telah kau berikan, kau sendiri yang memilih untuk membelikannya barang-barang itu agar terlihat kaya. Dan setelah dia menolakmu, kau mengatakan dia materialistis?!"

Hyun Jae semakin di buat bisu oleh ucapan Seokmin.

"Dari pada kau merasa rugi karena harus membayar makanannya, biar aku saja yang bayar semuanya. Tenang, aku tidak akan menagihnya, aku tidak perhitungan sepertimu."

Setelah itu, Seokmin menarik tangan Jisoo, membayar bill dan membawa Jisoo keluar dari restoran itu.

.

.
Keduanya tengah berada diatas sepeda motor dengan Seokmin yang mengendarainya. Entah kemana tujuan mereka, mereka pun tak tau.

Hingga akhirnya, Seokmin mengarahkan sepeda motornya kesebuah pantai dan mengajak Jisoo untuk duduk di atas pasir, memandangi ombak yang berlomba-lomba menuju pesisir.

Tatapan Jisoo terlihat sedih, namun tak ada setetes air matapun yang keluar dari kedua matanya.

"Hyung, tunggu disini sebentar. Aku akan segera kembali."

Jisoo hanya mengagguk, sedangkan Seokmin langsung lari entah kemana.

Seokmin kembali dengan 2 buah es krim vanilla dikedua tangannya. Dia menyodorkan 1 es krim Vanilla di depan Jisoo yang tengah fokus memandangi lautan.

"Ini untuk mu, Hyung."

"Terima kasih, Seokmin."

"Aku tidak tau makanan apa yang bisa membalikan mood seseorang. Jadi aku membelikan es krim saja."

Seokmin berkata dengan polosnya, membuat Jisoo tertawa pelan.

"Kurasa, kau salah membeli makanan."

"Hm?"

"Membeli es krim dimalam yang dingin. Kurasa kita berdua akan terkena flu besok."

"Ah... benar juga."

Seokmin menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Tapi tidak apa-apa. Aku hargai perjuanganmu."

Jisoo kembali memakan es krim di tangannya dengan tatapan kosong.

"Kau lihat Seokmin? Itu membuatku takut mengenal cinta lebih dari yang aku tau."

"Hah... lagi pula hyung, dari mana kau mendapatkan seorang yang berengsek seperti dia?"

"Eommaku."

Seokmin diam, menunggu penjelasan yang akan di lanjutkan oleh Jisoo.

"Eommaku selalu menjodohkan ku dengan kenalannya. Dia selalu mau aku memiliki pasangan yang lebih tua, karena menurutnya mereka adalah orang yang dewasa, yang mapan. Mereka semua bersikap sopan didepan eommaku. Tapi seperti yang kau lihat tadi, mereka berubah menjadi orang bejat jika mendapatkan penolakan seperti tadi."

Jisoo kembali memakan es krimnya yang sudah hampir habis.

"Boleh aku mengatakan pendapatku?"

"Tentu."

"Aku tidak setuju dengan pernyataan eommamu. Bagaimana bisa kedewasaan seseorang diukur dari umurnya?"

Jisoo terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa seseorang yang lebih muda darinya ini bisa berpikiran begitu.

"Em.. hyung, apakah eomma mu tau bahwa semua orang yang ia jodohkan denganmu adalah orang-orang yang berengsek?"

Jisoo menggelengkan kepalanya.

"Seandainya aku mengatakannyapun, eomma ku tak akan percaya."

Seketika Seokmin merasa kasian pada Jisoo. Orang yang memiliki senyuman manis ini, ternyata menyimpan kepahitannya sendiri.

"Terima kasih Seokmin karena menolongku."

"Sama-sama hyung..."

"Tapi bagaimana bisa kau ada disana?"

"Seperti yang aku bilang, aku akan datang membantumu walaupun kau tak memanggilku."

Pipi Jisoo di buat merona karena ucapan yang dilontarkan Seokmin.

"Oh? Jisoo hyung! Pipimu merah! Ah... kau malu karena aku mengatakan itu?"

"Tidak, jangan lihat aku.."

"Aku mau lihat, sini Jisoo hyung..."

Jisoo menoleh kearah Seokmin, membiarkan pipinya yang merona samar itu dilihat oleh Seokmin.

"Sudah! Puas?"

"Sangat!"

Seokmin tersenyum lebar melihat Jisoo yang terlihat malu, membuat matanya nampak melengkung.

"Seokmin, kau tau? Senyummu itu cerah sekali. Seperti sinar matahari."

Kini, Seokmin yang dibuat merona karena ucapan Jisoo.

"Ah, hyung... jangan buat aku malu."

"Kkk~ aku serius, Seokmin... pipimu merah, Seokmin."

"Hyung jangan lihat aku!"

Malam itu, Jisoo merasa bahagia. Kekecewaannya sektika hilang saat bersama Seokmin. Senyum secerah matahari itu, mampu menghangatkan Jisoo yang tengah berada di dinginnya malam.

Their Story -Seoksoo-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang