DUA PULUH TIGA

404 106 11
                                    

~~

Happy Reading

~~

Geraldi selalu mengajak aku berkeliling rumah sakit. Dia mendorong kursi rodaku karena aku mudah lelah sekarang. Mataku mulai membaik, aku bisa melihat seberkas cahaya yang menyorot tubuh Geraldi. Wajah tampan itu mulai memenuhi penglihatanku setiap kali aku membuka mata. Tidak pernah berubah meskipun ia kehilangan belasan kilo berat badannya. Wajah rupawan itu tetap setia, sama setianya dengan tangan kurus Geraldi yang terjulur mengusap rambutku setiap waktu. Helaian rambutku kian menipis, tapi tidak dengan rasa kami berdua.

Kita masih sama-sama mengenakan pakaian rumah sakit. Setiap hari dan setiap waktu. Lucu, seperti punya baju couple. Geraldi bilang aku semakin cantik. Dia memujiku hampir setiap jam dan mengucapkan kata-kata yang sama hampir setiap menit, aku mencintai kamu. Iya, Ge. Aku juga mencintai kamu tanpa sekat apapun.

Masih ingat dengan kucing oranye yang Geraldi perkenalkan padaku? Dia selalu terlelap di pangkuanku. Kami memberi dia nama Dan-ge. Dande dan Geraldi. Ia selalu membiarkan aku mengusap Dan-ge sampai kucing itu mendengkur, bergelung nyaman dalam dekapan. Kemudian Ge akan berdiri di belakang kursi rodaku, memeluk aku dari belakang sembari mengulang kalimat yang sama tapi tidak pernah membuat aku bosan. Aku mencintaimu, Dandelion.

Pertemuan kami tidak pernah istimewa. Remedial matematika itu, tidak pernah terlupa olehku. Mengingat betapa menyebalkannya Geraldi waktu itu sampai ia membawa aku ke bawah jembatan pasopati. Bagaimana ya kabar anak-anak jalanan itu? Aku harap akan ada orang baik lain yang bisa menggantikan Geraldi. Aku yakin, orang baik itu pasti ada. Mungkin kalian?

"Ge, kucingnya tidur terus ..."

"Seperti kamu, Dande. Tukang tidur!"

"Enak saja!"

Geraldi kemudian terkekeh dan ikut mengusap kucing oranye yang ada di pangkuan Dandelion. "Anak kita pulas sekali tidurnya."

"Eh?"

Geraldi kembali terkekeh. Kekehannya berhenti dan berganti dengan helaan napas berat. "Orang sepertiku tidak akan mungkin punya anak. Tidak mungkin membuat anak juga. Aku akan menularkan penyakitku kalau, Dandelion."

"Kamu, kan, bisa sembuh ..."

Suara Dandelion mengambang di udara. Ucapan itu terdengar seperti sebuah kemustahilan yang dipaksakan karena keegoisan semata. Mereka berdua tahu, kemungkinan sembuh dari penyakit HIV dan kanker otak begitu tipis. Sama tipisnya seperti lembaran tisu yang terus dihujani air. Lama-lama tisu itu basah dan tercerai-cerai menjadi serpihan yang hanyut dan larut dalam genangan air.

"Kalau kamu enggak akan sembuh, kamu enggak perlu khawatir. Aku akan menemani kamu. Kita bisa menghadapi ini bersama selamanya."

Geraldi tersenyum getir, bibirnya bergetar bersama tubuhnya yang tiba-tiba meremang. "Aku takut sekali, Dande. Aku takut menghadapi kematian."

"Sakit atau tidak, bukankah itu hal yang paling dekat sama manusia?" tanya Dandelion seraya mengusap rambut tebal Geraldi yang kini bersimpuh di hadapannya dengan mata berair, namun enggan menetes. "Apa yang harus kamu takutkan?"

"Aku takut sekali kalau harus berpisah dengan kamu."

Dandelion tersenyum hangat. Tangan lembutnya turun menyentuh rahang Geraldi, mengusap dengan begitu lembut. Tangan itu merasakan setetes air jatuh dari mata Geraldi. "Tuhan tidak mungkin sejahat itu memisahkan kita ..."

Geraldi mengangguk. "Aku ingin sekali meyakini itu, Dande ..."

Dada Geraldi terasa begitu sakit. Yang aku takutkan adalah kenyataan kalau ternyata kamu lebih dulu meninggalkan aku, Dandelion. Seperti yang dikatakan dokter pada ayahmu, tidak ada lagi harapan untuk kamu sembuh. Bagaimana aku bisa menjalani kehidupan tanpa kamu?

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang