DUA BELAS

637 156 53
                                    

~~
Happy Reading

~~

“Aku lelah, mas. Aku gak bisa seperti ini terus.”

“Tapi, kita harus seperti ini untuk Dandelion. Kita sudah berulang kali bicara soal ini.”

Mama memegangi keningnya, ia membelakangi papa. Seperti enggan berlama-lama menatap wajah papa yang terlihat gusar namun tetap memesona. Papa berjalan mendekati mama dan menyentuh bahunya dengan lembut.

“Kamu ingin bercerai sekarang?” Tanya papa. “Tidak ingin menunggu kondisi Dandelion membaik?”

Mama menoleh pada papa, tapi matanya menangkap sosok yang sedari tadi berdiri di atas tangga, sosok itu adalah Dandelion, ia tidak tahu kalau kedua orangtuanya sering bertengkar sampai ingin saling melepaskan satu sama lain. Bukankah mereka berdua sedang berusaha menjaga Dandelion tetap hidup?
Mama terkejut melihat Dandelion, ia terlihat berbeda, lipstiknya lebih terang dan ada riasan dimatanya yang terlihat sembab. Mama berjalan mendekati Dandelion tapi gadis mungil itu dengan cepat masuk ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan menangis, tidak peduli pada suara ketukan dipintu.

“Dande …”

Dandelion meraih jaketnya dan membuka pintu, ia menatap mama dan papa yang masih setia menunggu di depan kamarnya.

“Dandelion … sayang …”

“Jangan menjelaskan apa-apa, ma. Dande tidak mau mendengar apa-apa.”

Dandelion pergi ke bawah, ia membuka pintu dan segera pergi, mengabaikan suara papa yang mengejarnya. Ini tengah malam dan jalanan gelap, hanya ada lampu-lampu redup yang menerangi jalanan. Dandelion terus berlari menuju rumah yang pernah dimasuki Geraldi ketika pertama kali mereka pulang bersama. Satu-satunya orang yang ada dipikiran Dandelion adalah Geraldi.

Dandelion berdiri di depan pagar rumah Geraldi sembari menangis. “Ge! Geraldi.” Teriak Dandelion, ia tidak peduli telah membuat keributan di tengah malam.

Tirai jendela di lantai dua rumah Geraldi menyingkap, itu terlihat seperti tubuh seorang laki-laki, mungkin itu adalah Geraldi. Dandelion masih menangis, menunggu seseorang keluar.

“Ge …” Teriak Dandelion lagi.
Seseorang membuka pintu. Ia melangkah mendekati pagar rumahnya, ia seperti baru bangun tidur, mengenakan kaos dan celana pendek serta sandal jepit. Wajahnya tidak asing tapi itu bukan Geraldi. Itu …

“Kak Bra .. mastha?” Dandelion terkejut ketika melihat Bramastha yang keluar. Dandelion melihat ke samping kanan dan kiri, mencoba mengingat apakah ia tidak salah rumah.

“Kamu tidak salah rumah, Dande.” Kata Bramastha. Wajahnya terlihat memar-memar, seperti habis berkelahi. “Ini memang rumah Geraldi. Dan, aku kakaknya.”

Apa? Apa tadi katanya? Aku baru tahu kalau … kok bisa?

“Geraldi gak pulang.” Kata Bramastha. “Aku gak tahu dia akan pulang kapan, kalau kita bertengkar dia bisa gak pulang sampai tahun depan.”

“Eh?” Dandelion berkali-kali mengedipkan kedua matanya, ia meyakinkan diri kalau tidak sedang bermimpi.

“Dande …”

Suara papa terdengar di kejauhan, ia langsung berlari memeluk Dandelion dan tersenyum pada Bramastha. Laki-laki itu sepertinya tidak peduli, ia masuk begitu saja ke dalam rumah sementara papa sibuk memeluk Dandelion.

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang