DELAPAN BELAS

519 133 91
                                    

Tandai typo, please 🌚

Happy Reading

~~

Kening Geraldi terasa begitu pening.

Samar, ia mendengar percapakan dua orang laki-laki di dekat ranjangnya. Mata Geraldi perlahan terbuka, menampakkan langit-langit ruang rawat inap yang putih bersih. Penglihatannya berbayang, butuh beberapa kali kedipan mata untuk membuatnya kembali normal.

"Dandelion..." gumamnya. Kenapa aku tidak bisa menemui Dandelion?

"Geraldi?" kata salah satu laki-laki yang ada di sana, menatapnya dengan raut wajah datar. "Syukurlah kalau kamu sudah sadar."

Geraldi mengalihkan pandangannya, menatap dua orang yang tak asing tengah berdiri dengan setelan jas, tampak seperti akan menyambut hari bahagia.

Laki-laki paruh baya yang baru saja bicara itu melangkah mendekati Geraldi, ketika itu Geraldi sadar ada yang salah pada tubuhnya. Mata tajam Geraldi perlanan turun menatap dua pasang borgol mengikat pergelangan tangan kakinya, tubuhnya telentang dan terikat kuat di atas dasar ranjang, terlihat seperti orang gila yang sewaktu-waktu akan mengamuk.

Tangan Geraldi mengepal lantas menatap laki-laki yang semakin mendekat ke arahnya. Laki-laki paruh baya itu Handika, papa Geraldi. Ia mengusap rambut ikal anaknya yang selalu dipotong rapi.

"Kata dokter semalam kamu mengamuk. Supaya kamu gak mengamuk lagi jadi papa terpaksa melakukan ini."

"BAJINGANN!" Geram Geraldi setengah berteriak. Ia mulai menarik tangannya, berharap tarikan itu akan terlepas.

"Hari ini biar kamu seperti ini dulu. Papa janji akan melepaskan kamu kalau semua urusan hari ini sudah selesai."

"Mau ke mana lo, hah?!" Geraldi menyolot sambil terus berupaya melepaskan diri, "MAU KEMANA LO, BANGSATT?!!"

Handika berdeham lantas merogoh sagu dalam jasnya. Ia meraih sebuah kartu undangan pernikahan yang tampak begitu mewah dengan nuansa keemasan, meletakkannya di atas dada Geraldi yang tampak kembang-kembis karena amarahnya yang tengah memuncak.

"Bertanggung jawab atas adikmu yang sebentar lagi akan lahir ke bumi," kata Handika.

"Anjing," desis Geraldi penuh amarah. "GUA BILANG JANGAN MENIKAH SAMA MAMANYA DANDELION, JANGAN!!"

Geraldi mengeluarkan semua suaranya sampai terdengar seperti gonggongan anjing. Ia semakin berusaha untuk melepaskan diri.

"Ge, papa tidak mungkin menelantarkan adik kamu. Papa juga gak mungkin membatalkan pernikahan ini karena semuanya sudah disiapkan jauh-jauh hari dengan biaya yang fantastis."

Geraldi tiba-tiba berhenti bergerak. Ia menatap langit-langit dan terbahak, kemudian kembali menatap tajam ke arah ayahnya. "Biaya yang fantastis? Jadi nyawa aku sama Dandelion enggak ada artinya kalau dibandingkan pernikahan bodoh itu? Hahahahaha," Geraldi kembali tertawa nanar.

"Dua penzinah akan menikah dan mengorbankan perasaan dua anaknya yang sekarat. Hahahahahaha," Geraldi semakin keras tertawa.

Mata tajam itu tak sengaja melihat Bramastha yang tengah berdiri di ujung ranjangnya, menatap dengan begitu khawatir ke arah Geraldi.

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang