DUA PULUH

449 123 32
                                    

Selamat malam minggu ❤

~~
Happy Reading
💖
~~

"Sel kanker yang ada di otak Dandelion semakin membesar dan mulai menyebar ke syaraf matanya. Dandelion akan mengalami kebutaan sementara. Tapi,  kalaupun Dandelion bisa melihat lagi dia perlu bantuan kacamata sekarang," kata dokter setelah ia memberikan obat penenang pada Dandelion.

Perempuan pengidap kanker itu kembali tertidur setelah secara brutal meneriaki dan memukuli Geraldi. Menuntut jawaban kenapa di sekitarnya begitu gelap.

Hari ini Dandelion sudah kembali ke ruang rawat inap biasa. Ia sudah keluar dari ICU, tapi kondisinya tidak pernah membaik. Setiap hari sel kanker itu terus membesar, menciptakan sel-sel lain yang lebih kuat. Pernyataan dokter menakuti Geraldi. Laki-laki itu, untuk pertama kalinya sangat takut akan kematian.

Jemari Dandelion tidak pernah lepas dari genggaman Geraldi. Ia tidak mau pergi, takut kalau peri kecilnya membutuhkan sesuatu.

Geraldi teringat sesuatu. Ia segera merogoh saku celananya dan meraih kotak cincin yang ia simpan sejak kemarin. Geraldi menyematkan satu cincin di jari manis Dandelion dan tersenyum simpul ketika sadar kalau cincin itu memang cocok untuk Dandelion. Laki-laki itu lantas memakai cicin satunya dan menyandingkan jari manis itu ke samping jari manis Dandelion.

Senyuman Geraldi merekah. "Aku akan menikahi kamu, Dandelion."

Geraldi terlalu sibuk menatap sepasang cincin itu sampai tidak sadar kalau Dandelion sudah membuka matanya. Perempuan itu tidak bicara, tidak bersuara. Hanya menatap kegelapan di depan matanya.

"Dande?" Geraldi sadar kalau wanitanya sudah membuka mata. Laki-laki itu bangkit berdiri demi melihat kondisi Dandelion, "Kamu mau apa? Mau minum? Lapar? Kamu butuh sesuatu? Bilang sama aku, ya?"

Dandelion tidak menjawab. Ia enggan bersuara. Seperti maneken ia mematung. Bahkan napasnya yang tipis tidak membuat dadanya kembang kempis. Ia terlihat seperti mayat hidup dengan wajah pucat yang menirus.

"Kamu enggak apa-apa, kan?" Geraldi mengusap pipi Dandelion. Ia tahu wanita di hadapannya itu tengah terpuruk, tapi ia tidak akan membiarkan Dandelion terpuruk sendirian. "Dokter bilang ini cuma sementara, Dande. Kamu bisa melihat lagi nanti kalau sudah terapi. Kamu jangan sedih, ada aku. Aku akan jadi mata kedua kamu mulai hari ini. Jadi, kamu mau apa? Mau minum?"

Masih tidak ada jawaban. Keheningan menyelimuti mereka dalam satu menit. Geraldi memutar otak, mencari kata-kata yang bisa membuat Dandelion mau bicara. Menit selanjutnya Geraldi masih belum tahu harus membicarakan apa maka ia memutuskan untuk duduk dan menggenggam tangan Dandelion, mengecupnya sebentar.

"Aku kemarin sudah berusaha membatalkan pernikahan orang tua kita. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan membiarkan siapapun menginjak-injak kita."

Dandelion masih bungkam. Ia menatap langit-langit, tapi Geraldi tahu yang bisa Dandelion lihat hanya ruang hampa yang gelap.

"Kamu tidak akan bicara padaku, Dande?" Geraldi tampak begitu kecewa. Ia menyeka sebulir air mata yang tiba-tiba meluncur ke pipinya. "Aku sudah membayangkan kita akan berjuang bersama dari penyakit mematikan ini setelah kamu sadar. Tapi, melihat kamu seperti ini membuat aku putus asa. Aku baru saja ingin hidup lebih lama untuk bahagia bersama kamu, Dandelion. Bagaimana aku bisa membuat kamu bahagia kalau kamu sendiri bahkan enggak mau bicara sama aku."

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang