LIMA

817 194 36
                                    

Selamat malam minggu
And
Happy Reading, chingu!

~~

Dande melangkah sendirian keluar komplek. Hari ini ia naik bus lagi meskipun harus berdebat dengan mama yang ngotot ingin mengantar Dande pergi sekolah dengan mobil pribadi. Tapi, akhirnya Dande menang dan bisa pergi sekolah sendiri. Pak Ramli harus mengantar nenek yang katanya ada urusan penting. Supir nenek juga gak pulang-pulang, mungkin masih betah melihat anak bayinya.

Pagi ini mendung, cuaca memang sudah masuk musim penghujan. Dande mempercepat langkahnya karena takut langit tiba-tiba menangis, ia lupa tidak membawa payung. Dande ingin kembali ke rumah untuk mengambil payung tapi ia mengurungkan niatnya, takut mama kembali memaksa untuk mengantarnya ke sekolah.

Raina sudah pergi duluan setelah menyiapkan sarapan bersama ibunya. Ia beralasan kalau harus piket dulu, padahal setahu Dandelion anak itu adalah satu-satunya siswa yang tidak pernah beres-beres kelas.

Di kejauhan Dande melihat Geraldi sedang berjalan juga menuju halte bus di depan komplek. Dande mendengus kesal, kenapa pagi ini harus bertemu lagi dengan dia. Hari ini semakin mendung ketika laki-laki itu datang, lebih tepatnya hati Dande yang mendung.

Geraldi duduk di halte sementara dengan ragu Dande berjalan menuju halte, enggan berdekatan dengan laki-laki itu.

Geraldi tidak peduli dengan kehadiran Dande, ia masih sibuk mendengarkan musik dengan wajah datarnya, bahkan ia mungkin tidak sadar kalau Dande ada di sana. Hari ini Geraldi mengenakan jaket jeans biru langit, ia seratus kali lebih tampan dari pada kemarin, ikal rambutnya terlihat lebih rapi hari ini. Kulitnya yang putih semakin bersinar ketika berpadu dengan jaketnya, ia terlihat cerah di antara langit mendung. Beberapa wanita melihat Geraldi, saling berbisik, mungkin bergosip tentang ketampanannya, atau karena wajahnya masih babak belur?

Malaikat maut itu bisa sangat tampan juga, batin Dande.

Dande berdiri di ujung halte, ia sesekali melirik Geraldi yang sama sekali tidak memperhatikannya, Geraldi malah melihat jalanan, bibirnya yang kemerahan dan masih terluka sedikit bergumam, menyanyikan lagu yang ia dengarkan lewat headset sembari sesekali menghentakkan kaki sesuai dengan irama musik yang hanya bisa ia dengarkan sendiri.

Bus tidak kunjung datang, yang datang malah hujan deras yang sontak saja membuat sweater biru muda Dande basah. Hujan itu datang tanpa isyarat, ia menyiram Dande seperti keran air yang bocor. Bukan menghindar, Dande malah mendongak yang mengakibatkan wajahnya juga basah kuyup. Tiba-tiba ada yang menarik lengannya dengan sedikit kasar. Kejadian itu begitu cepat, Dande sampai terkejut ketika ia sudah ada di hadapan dada laki-laki berseragam SMA dengan balutan jaket jeans biru langit, senada dengan sweater yang dikenakan Dande, bau sosok itu mengingatkan Dande pada papa tapi sayangnya sosok itu bukan papa melainkan Geraldi.

“Kau itu memang bodoh ya …” Kata Geraldi. “Kalau hujan itu berteduh, bukan hujan-hujanan.”

“Eh?”

Dande masih gelagapan, ia bingung harus melakukan apa. Geraldi masih menggenggam lengan Dande. “Ah eh ah eh … dari kemarin kamu cuma eh eh eh mulu sambil melongo.”

“Eh?”

Geraldi memutar bola matanya, kali ini Dande mendongak memandangi wajah Geraldi, tubuhnya yang tinggi itu terlihat sangat gagah dengan wajah dinginnya, lebih dingin dari cuaca pagi ini.

Bulu kuduk Dande meremang, sweaternya yang basah membuat tubuhnya sedikit menggigil. Dengan cepat Geraldi membuka jaketnya dan memberikannya pada Dande. “Ini, pake jaketku.”

“Eh?”

Geraldi sepertinya kesal dengan kosa kata yang keluar dari mulut Dande, ekspresi Geraldi yang semula sangat dingin kini terlihat sedikit kesal, ia memejamkan matanya beberapa detik kemudian melihat Dande sembari menghela napas.

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang