TUJUH

825 153 21
                                    

Happy Reading
And
Stay with me until the end

~~

Dande menatap dirinya dicermin. Wajahnya terlihat sangat pucat, kejadian semalam benar-benar menguras tenaganya, tapi Dande harus sekolah, ia tidak mau izin dan tertinggal pelajaran, ia akan semakin bodoh kalau sampai melewatkan pelajaran.

Rencananya Dande ingin meminta izin pada mama dan papa untuk ikut klub film, tapi sepertinya mereka tidak akan memberikan izin kalau lihat keadaan Dande, apalagi mama. Nenek pasti sudah cerita pada kedua orangtuanya soal kejadian Dande pingsan di depan wastafel.

Dande menyisir rambutnya, hari ini ia mengepang rambutnya yang tebal. Ia berkali-kali menyingkirkan helai rambutnya yang semakin hari semakin rontok, belum kemoterapi saja sudah rontok begini. Setelah selesai mengepang rambut ia langsung pergi ke ruang makan untuk sarapan.

Papa pulang hari ini, mobil semalam memang benar-benar mobil papa, ia sudah duduk dimeja makan sembari membaca koran harian, sesekali menyesap kopi susu. Papa selalu terlihat menawan dimata Dande, wajah cantiknya pasti berasal dari wajah papa yang tampan.

"Selamat pagi, papa." Dande langsung berhamburan ke pelukan papa. Sangat bahagia melihat sosok papa yang belakangan selalu luput dari penglihatan Dande.

"Selamat pagi, puteri kecil papa." Sejenak papa mengabaikan koran dan kopi susunya, ada yang lebih papa suka dari koran dan kopi, senyuman Dande.

Dande melepaskan pelukannya, ada sesuatu yang membuat Dande ingin segera melepaskan papa, parfume itu, mengingatkan Dande pada Geraldi. Laki-laki itu sudah mengganggu ketenangan Dande semalaman, sekarang ia mengganggunya lagi lewat bau yang sama dengan bau papa. Dande tersenyum simpul pada papa kemudian duduk dan menyeruput susu hangatnya.

"Pa .." Kata Dande, "Jangan pakai parfume itu lagi."

"kenapa?" Tanya papa heran.

"Tidak enak baunya."

Papa mengendus ketiaknya sendiri kemudian menatap Dande. "Kamu gak pernah masalah mencium bau parfume papa, sudah lama juga papa pakai. Baunya kenapa, Dande?"

"Sudahlah, pa. Pokoknya jangan dipakai."

Perdebatan tidak penting itu berakhir ketika mama dan nenek datang bersamaan dengan nasi goreng dan telur gulung. Dande langsung berbinar, wajah pucatnya sudah kembali normal, bukan karena nasi gorengnya tapi karena mama juga ternyata sudah pulang. Akhirnya mereka bisa makan bersama. Keluarga kecil itu menghabiskam sarapan dengan ceria, sesekali ada gurauan papa yang membuat meja makan jadi ramai. Dande tidak bisa membayangkan kalau suatu hari nanti akan ada satu orang yang hilang dari meja makan ini.

Setelah selesai makan Dande berniat untuk pamit pergi ke sekolah. Tapi, papa langsung menawarkan diri untuk mengantar Dande. Papa pasti khawatir pada Dande karena nenek sudah cerita soal kejadian semalam. Tapi, tidak ada yang membahas soal kondisinya pagi ini.

Dande langsung bersemangat ketika papa akan mengantarnya ke sekolah, entah kenapa ia senang kalau diantar papa dibandingkan harus diantar mama, mama membosankan tapi papa menyenangkan.

Dande langsung mengiyakan ajakan papa. Lagipula kalau pergi dengan papa, kemungkinan ia bertemu dengan Geraldi berkurang tujuh puluh persen. Tiga puluh persen lainnya ia akan bertemu di sekolah, itupun kalau Geraldi mau masuk sekolah. Laki-laki itu memang benar-benar gak jelas.

Papa memanaskan mobil sementara Dande menunggu papa di depan pagar, menatap jalanan komplek yang selalu sepi. Orang-orang komplek memang individualis, terlalu mengejar duniawi sampai lupa kalau kematian itu benar-benar nyata.

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang