DUA PULUH EMPAT

414 119 14
                                    

TARAWEH DULU!!

Tandai typo, please!
Jangan lupa di vote!!
Aku enggak minta bintang di langit,
cuma minta bintang di bawah kiri.

~~

Happy Reading

And

Stay with me until the end

~~

Ge payah! Dia sudah tidak berotot lagi seperti dulu waktu pertama kali dia menggendongku!

Tapi, tubuh kurus itu akhirnya masih menggendongku dengan cemas. Aku membuat dia khawatir lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Ketika tubuhku limbung di atas panggung pesta dan jatuh di pangkuan Ge, aku bisa mendengar dia memanggil namaku berulang kali, tapi aku tidak bisa menjawab. Ia tertatih mengangkat tubuhku dengan tubuh kurusnya, membawa aku turun ke UGD sembari menangis. Cengeng!

Dia selalu bilang aku cengeng, tapi sesungguhnya Ge yang cengeng. Curang!

"Bertahan, Dandelion. Aku mohon."

Geraldi turun lewat tangga darurat setelah tahu kalau lift yang tombolnya ia tekan berulang kali tak pernah terbuka. Sebenarnya ada papa Dandelion yang terlihat jauh lebih bugar dari tubuh kurus Geraldi, tapi laki-laki itu tidak mau menyerahkan peri kecilnya ke tangan siapapun. Dekapan erat Geraldi menggiring tubuh mungil itu sampai akhirnya ada suster yang dengan sigap membawa tubuh Dandelion ke atas ranjang Unit Gawat Darurat.

Napas Geraldi yang terengah dan keringatnya yang berderai menjadi bukti kalau malam itu ia benar-benar berada di puncak ketakutan. Ia bertanya-tanya pada Tuhan yang masih enggan menjawab pertanyaannya, apakah Tuhan akan mengambil Dandelion hari ini?

Kemudian pikiran Geraldi berkelana. Ia merencanakan hal-hal yang mengerikan jika sesuatu yang buruk sampai terjadi pada Dandelion. Bunuh diri, atau melanjutkan hidup dengan kesepian yang amat mencekam? Geraldi tidak ingin keduanya. Ia ingin Tuhan menyelamatkan Dandelion sekali lagi.

Dandelion kini tengah ditangani dokter, gaunnya yang indah dirobek tanpa ragu oleh perawat yang sibuk memberi CPR. Berulang kali Dandelion harus menerima tekanan di atas dadanya, alat bantu napas bahkan menjadi satu-satunya sumber kehidupan untuk perempuan itu. Pemandangan yang membuat Geraldi ikut merasakan sulitnya menghirup udara yang terasa begitu sesak.

Melihat kegaduhan di ruang Unit Gawat Darurat Geraldi sibuk menempel dipintu dengan wajah yang begitu cemas, mengintip Dandelion di balik kaca yang tirainya langsung ditutup oleh perawat. Air mata Geraldi meluruh seketika. Kepalanya menunduk demi memanjatkan doa pada Tuhan.

Aku tahu Tuhan tengah mengamati kami. Tolong, Tuhan. Aku memang pendosa, tapi kabulkan permintaanku hari ini. Selamatkan Dandelion sekali lagi. Ada satu hal lagi yang harus aku lakukan dengan Dandelion.

Radit, Ahmad, Satriya dan Adimsa bergantian merangkul bahu Geraldi yang tampak naik-turun tak karuan, menguatkan pria kurus yang tengah merasakan luka paling sakit di hidupnya. Tapi, Geraldi tetap Geraldi yang amat cemas akan keadaan kekasihnya. Ia panik, tangannya bergetar hebat, mahkota yang bertengger di kepalanya dan kepala Dandelion sudah hilang entak ke mana, mungkin terinjak-injak oleh kepanikan orang-orang yang semula berdansa dengan bahagia di aula. Acara itu ditutup oleh sesuatu yang mengenaskan. Tak akan pernah terlupa oleh siapapun.

Geraldi menangis semakin deras. Ia mengendurkan dasi di lehernya yang terasa semakin mencekik. Napas Geraldi memburu seolah ada yang menghalangi pernapasannya. Rambutnya berantakan. Bibirnya pucat pasi.

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang