TIGA BELAS

662 159 94
                                    



~~
Happy Reading

~~

Geraldi tidak masuk lagi. Ia sepertinya menghabiskan waktu di kantor polisi.

Dandelion benar-benar kehilangan arah, ia tidak siap bertemu lagi dengan laki-laki yang belakangan telah mencuri hatinya. Ia menangis lagi, menyesal ketika memutuskan untuk jatuh cinta. Geraldi ternyata tidak lebih baik dari Rhazes, sama-sama bajingan.

Dandelion berjalan dengan gontai di lorong sekolah, sekarang kelasnya sudah tidak lagi di lantai dua. Ia pindah ke gedung kelas dua belas yang ada di lantai satu dekat dengan gedung ekstrakulikuler. Ia menolak ajakan teman-temannya untuk pergi ke kantin. Tidak berselera untuk makan dan hanya ingin berkeliling.

Entah Dandelion yang tidak sengaja, entah Raina memang pada dasarnya senang mencari masalah, ia menabrak Dandelion, perempuan itu menumpahkan kopi panas ke baju Dandelion. Dandelion mendongak, menatap wajah Raina yang memang lebih tinggi.

“Kamu bisa tidak jangan mengangguku?” Tanya Dandelion dengan suara tinggi. Beberapa orang melihat ke arah mereka.

“Kamu yang menabrak aku!” Raina malah tersenyum sinis. “Kenapa, sih? Kamu jalan gak pake mata. Oh .. kepikiran pacarmu yang ditangkap polisi karena pakai narkoba ya?”

Raina melihat sekeliling. Sudah cukup banyak pasang mata yang melihat mereka. Sepertinya Raina memang sedang ingin mempermalukan Dandelion, gemas jika melihat ada peri kecil yang terlalu bahagia.

“Kamu itu sudah sakit, Dande. Makanya jangan aneh-aneh, fokus saja sama pengobatan-”

Dandelion mendorong tubuh Raina, ia kesal. “Kenapa kamu mengganggu aku, Ra? Aku gak pernah mengganggu kamu. Aku membiarkan kamu bohong sama semua orang. Aku membiarkan semua orang berpikir kalau kamu memang benar-benar orang kaya. Kamu lupa?” Dandelion mencoba menahan amarahnya, ia terengah-enggah. “Kamu lupa kalau kamu itu hanya anak pembantu di rumahku?”

Seketika suasana menjadi gaduh, beberapa orang saling berbisik menatap Raina. Perempuan itu terkejut ketika Dandelion pada akhirnya membongkar kenyataan di depan teman-temannya.

“Dande!” Raina menarik dengan kasar tangan Dandelion yang hendak pergi.
Tapi, genggaman itu terlepas, berganti dengan genggaman lain. “Jangan pernah ganggu Dandelion, Raina!”

Dandelion menghempaskan genggaman itu. Ia tidak mau dipegang oleh siapapun, apalagi oleh laki-laki yang sekarang berdiri di hadapannya. Geraldi berdiri di hadapan Dandelion.

“Dande …”

Perempuan itu menatap nanar wajah Geraldi, “Kamu juga jangan pernah ganggu aku, Geraldi!”

Dandelion pergi. Ia meninggalkan Geraldi yang sekarang mencoba mengejarnya. Geraldi memiliki kaki yang jauh lebih tinggi, ia bahkan bisa dengan mudah menyusul Dandelion. Menghentikan langkahnya dan berdiri tepat di hadapan peri kecil itu.

“Aku bisa jelaskan.”

“Aku enggak mau menjelaskan apa-apa, serbuk itu ada di tasmu. Polisi gak akan semabarangan menangkap kamu, mereka pasti menyelidiki dulu dan … dan kamu …” Dandelion belum selesai dengan kalimatnya tapi ia malah menangis.

“Iya, Dande. Serbuk itu memang ada di tasku, aku memang pernah pakai narkoba.” Ia menekankan kata pernah, mencoba untuk jujur pada Dandelion. “Aku berhenti sejak bertemu denganmu. Aku sudah berhenti, Dande. Aku dibebaskan karena aku memang bukan pengguna lagi, aku sedang berusaha untuk lepas. Serbuk di tasku itu milik Dimas. Kau tau, kan? Dimas yang waktu itu berkelahi denganku di kantin? Dia yang menelepon polisi, dia yang menyimpan serbuk dan jarum suntik di tasku dan memfitnah aku, dia gak membiarkan aku berhenti jadi pengguna makanya dia marah, tapi aku sudah bilang semuanya di kantor polisi, dia sekarang di penjara. Aku sudah benar-benar tidak pakai narkoba, Dande. Aku dibebaskan karena aku bukan pengguna dan akan direhabilitasi.”

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang