ENAM BELAS

612 154 97
                                    

~~

Happy Reading

~~

Geraldi menulis sebuah rumus dipapan tulis, di hadapan teman-temannya yang sekarang terlihat begitu serius belajar matematika. Bu Emma terlihat tidak berkedip di meja guru. Ia terus memperhatikan Geraldi yang tengah mengajari teman-temannya, pemandangan yang sama seperti yang pernah Dandelion lihat di bawah jembatan pasopati ketika Geraldi belajar bersama anak-anak jalanan.

Ujian Nasional sudah semakin dekat. Sekolah mengadakan pemantapan, di mana siswa kelas dua belas diberi pelajaran tambahan untuk beberapa pelajaran yang akan diujiankan. Geraldi diminta untuk jadi tutor sebaya. Dan, ia dengan senang hati maju ke depan.

“Sampai di sana, paham?” tanya Geraldi pada teman-temannya. Beberapa orang masih bengong, beberapa lainnya mengangguk dengan pandangan kosong.

“Jangan iya-iya aja tapi gak ngerti,” kata Geraldi ketus. Laki-laki itu memang tidak bisa ramah, hanya pada Dandelion seorang. “Ayo apa yang gak mengerti, jangan diam saja.”

Safira berdeham, ia memandangi bukunya, “Se-semua, Ge. Enggak ngerti.”

Beberapa orang tertawa, bahkan ada yang mengumpat. Safira cemberut seraya berkata, “Memangnya kalian ngerti?”

“Enggak, sih.” Satriya membalas.

Geraldi memutar bola matanya, ia menghapus semua tulisannya dipapan tulis, menulis ulang soal.

“Oke. Nih aku ulangi …”

Geraldi menjelaskan lagi. Lebih perlahan, ia juga lebih sering bertanya pada teman-temannya apakah sudah mengerti atau belum. Bu Emma langsung memuji Geraldi ketika pelajaran selesai sementara Dandelion akan tersenyum lebar, bangga pada laki-laki itu.

Setelah Ujian Nasional selesai kalian melakukan apa?

Kalau kalian mencari universitas … Aku memilih untuk menikmati kebersamaanku dengan Geraldi. Dia sering ke rumah sakit untuk mengecek apakah penyakitnya membaik atau memburuk, aku juga. Sebelum Ujian aku menjalani sekali lagi kemoterapi berjangka, dimasukkan alat ke dadaku yang kata dokter akan mengalir langsung ke otakku dan memecah sel-sel kanker agar tidak menyebar. Aku akan muntah setelahnya. Lalu aku menginap di rumah sakit, ditemani papa dan Geraldi yang selalu berebut untuk menjadi lelaki nomor satu dihidupku.

Aku sedih ketika aku harus memotong rambutku jadi sebahu, tapi Geraldi bilang aku jadi semakin cantik. Pipi tembamku hilang, Geraldi bilang aku jadi semakin mudah dipeluk karena semakin mungil. Dia juga makin kurus, aku enggak suka otot-ototnya yang kekar itu hilang. Tapi, Ge bilang tidak masalah otot-ototnya hilang asalkan aku tidak hilang. Huh, dia jadi pandai menggoda.

Semakin hari, semakin banyak hal yang aku lewati dan aku semakin bahagia bersama Geraldi. Kalau dulu aku terlihat menyedihkan, sekarang aku tidak lagi seperti itu.

Ujian nasional akan jadi hal paling menakutkan, tapi setiap detiknya aku nikmati. Bukan karena aku sudah pandai, tapi karena itu bentuk rasa bersyukur-ku karena diberi kenikmatan merasakan ujian nasional. Siapa yang tahu umurku ternyata diberi sedikit lebih panjang...

Geraldi memasukkan mobilnya ke pekarangan rumah Dandelion. Mereka baru saja pulang dari sekolah setelah mengurus administrasi kelulusan, Ujian Nasional itu telah menyatakan mereka lulus, nilai Geraldi nyaris sempurna kalau nilai bahasa Indonesianya tidak berangka tujuh puluh. Institut Teknologi Bandung bahkan menawarkan secara langsung pada Geraldi untuk masuk ke sana, jadi mahasiswa teknik, tapi ia menolak. Ia memilih masuk jurusan seni musik, sementara Dandelion akan mengambil bahasa dan sastra. Entah sampai kapan waktu akan berhenti untuk mereka, tapi menurut Dandelion dan Geraldi, tidak masalah untuk tetap menggapai mimpi meskipun akan menjadi sia-sia ketika kematian di depan mata. Benar, kan?

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang