DUA PULUH ENAM

374 89 12
                                    

Selamat Malam Minggu!

Gak sempat baca ulang, typo dsb mohon dimaafkan 😉

~~

Happy Reading
💖

~~

Sinar matahari sudah muncul bersama kicauan burung. Tadi malam Geraldi tidur dengan nyenyak, sebab Dandelion tidak merengek kesakitan di dalam dekapannya. Laki-laki itu segera mandi sebelum Dandelion membuka mata dan mengenakan pakaian terbaiknya.

Sudah lama sekali Geraldi tidak lagi berlama-lama di depan cermin. Ia tidak percaya diri menatap wajahnya yang kurus kering, tidak lagi rupawan. Mata yang menghitam itu terlihat sangat lelah dengan bibir yang membiru.

Aku seperti habis termakan penyakit ini, kata Geraldi dalam hatinya sembari membenarkan kerah bajunya yang miring.

Hari ini kemeja cokelat kotak-kotak dengan celana jeans biru dongker melekat rapi di bajunya. Di dalam saku celananya yang kedodoran itu ia menyimpan sebuah kotak cincin. Tekadnya sudah bulat, ia ingin sekali menikahi Dandelion. Ia bahkan telah mengorbankan kesempatannya untuk masuk perguruan tinggi hanya demi menemani sisa-sisa hidup Dandelion. Bukan, bukan hanya sisa hidup peri kecilnya tapi juga sisa hidup Geraldi yang entah sampai kapan bisa bertahan.

Di balik cermin yang terpantul di kamar Dandelion, gadis manis itu membuka mata. Ia menguap dan mengucek matanya. Terlihat masih mengantuk, tapi tidak sabar melihat Geraldi yang terlihat tampan di matanya.

"Ge, kamu mau ke mana?" tanya Dandelion dengan suara serak.

Geraldi yang masih susah payah membenarkan rambutnya yang sulit diatur itu melirik Dandelion lewat cermin dan tersenyum lebar. "Mau melamar kamu."

Dandelion mengerjap-ngerjap dan langsung terduduk di atas ranjangnya. "Kamu serius soal kata-katamu semalam?"

Geraldi mengangguk, "Tentu saja aku serius."

Wajah Dandelion yang terlihat pucat tiba-tiba merona. Ia menunduk malu. Tangan mungil itu terjulur memegangi pipinya yang terasa panas. Ia bergumam dengan pandangan kosong, "Oh, jadi Ge beneran mau menikahi aku?"

Geraldi terkekeh gemas. Meskipun pipi yang kian merona itu tidak lagi tembam seperti ketika mereka pertama kali bertemu, tapi menurut Ge wanitanya itu masih tetap menggemaskan. Seperti seekor kelinci.

"Kamu mau, kan?" tanya Geraldi seraya menghampiri Dandelion yang langsung mengerjap-ngerjap.

Mata Dandelion terlihat berbinar. Pupil matanya yang hitam membesar ketika subjeknya kian mendekat. Geraldi duduk di atas ranjang, tepat di depan Dandelion yang masih memegangi pipinya yang semakin menghangat.

"Aku ... malu, Ge!" pekik Dandelion.

Geraldi terkekeh geli ketika Dandelion tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia membuka sedikit telapak tangannya agar bisa mengintip wajah Geraldi. Setelah mendapati Dandelion yang tak kunjung mengenyahkan telapak tangannya, tangan kurus Geraldi terjulur. Ia membawa kedua tangan Dandelion ke dalam genggamannya dan menilik wajah cantik itu dengan tatapan sendu penuh cinta. Sekali lagi, ia dimabukkan oleh wajah Dandelion yang amat candu.

"Time flies so fast." (Waktu berlaku begitu cepat.) Geraldi mengusap jemari Dandelion yang terasa hangat dengan tangan dinginnya yang gugup. "Sepertinya baru kemarin aku mentertawakan kamu karena remedial matematika."

Dandelion terkekeh dan mengangguk sepakat, "Seperti baru kemarin kamu membantu aku mengerjakan remedial itu sampai aku akhirnya dapat nilai seratus."

Mereka terkekeh bersama dengan mata yang tiba-tiba berbinar hendak menangis. Bulir-bulir kepedihan itu menohok hati keduanya. Meskipun bibir mereka tersungging, tapi hati mereka menangis. Tersayat-sayat oleh ketakutan yang amat mencekam. Bukan kematian lagi yang menakutkan bagi keduanya, tapi sebuah pertanyaan, bagaimana jika setelah kematian kami tidak bisa bertemu lagi?

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang