EMPAT BELAS

698 156 41
                                    


😊

~~
Happy Reading

~~

Dandelion merasakan kepalanya sangat berat. Ia duduk di atas ranjangnya sembari termangu. Kabar itu sangat mengejutkan. Tanpa terasa Dandelion kembali menangis. Ia mencoba untuk tetap tenang, tapi ketika dokter keluar jantung Dandelion malah semakin kencang berdegup begitu mendengar laki-laki yang sejak tadi ada di samping Geraldi berteriak.

“KAMU TIDAK BISA BERHENTI MEMBUAT PAPA MALU?”

Geraldi tidak menjawab. Ia juga sepertinya terkejut dengan perkataan dokter. HIV? Penyakit itu bukan penyakin main-main, itu juga bisa membunuh Geraldi dan tidak bisa disembuhkan.

PLAK!

Laki-laki yang ternyata papanya itu menampar Geraldi, ia terus meneriaki anaknya.

“Kemarin kamu membuat papa malu dengan pakai narkoba, sekarang apa? Sekarang kamu kena HIV?” Papa Geraldi tertawa nanar, “Kenapa tidak sekalian kamu mati saja menyusul ibumu?”

Geraldi menatap nanar ke arah papanya. Ia terlihat geram, meskipun sakit Geraldi tidak pernah bisa menghilangnya wajah garangnya.

“Malu? Papa malu?” Geraldi tersenyum sinis, “Papa gak akan malu, toh di sekolah gak ada yang tahu aku anak papa. Gak ada yang tahu aku adik Bramastha. Bukannya papa memang gak mau semua orang tahu kalau papa punya anak seperti aku?”

Plak!

Geraldi ditampar lagi. Papanya tampak semakin marah, pun Geraldi yang wajahnya sudah memerah. Ia meledak, melemparkan nampan berisi sarapan pagi ke arah papanya.

Prangg..

“Kenapa selalu aku yang terlihat tidak berguna di hadapan papa?! Kenapa?! Aku ini anak papa juga!” Geraldi sekarang berteriak. “Anak papa bukan cuma Bang Bram. Aku juga anak papa. Aku belajar matematika, fisika, kimia sampai gak bisa tidur, aku belajar musik, aku mencoba sepak bola dan basket supaya dilihat papa. Tapi, papa selalu lebih sayang sama Bang Bram. Dia itu cowok pengecut, pa …”

Papa Geraldi diam. Ia menatap kosong ke depan.

“Karena mama meninggal? Karena mama bunuh diri? Karena Geraldi gak cepat-cepat datang ke rumah sakit untuk mencegah mama melompat di atas gedung untuk bunuh diri papa menyalahkan aku?” Geraldi mulai menangis, suaranya tercekat. “Papa juga salah! Papa sibuk di luar sana, Bang bram? Laki-laki yang papa banggakan juga ada di klub malam waktu mama sekarat. Kalian juga gak peduli dengan mama yang sakit!”

“Aku yang jaga mama dua puluh empat jam,” lanjut Geraldi, ia terengah-engah. Napasnya memburu. “Apa salah aku pergi keluar untuk makan? Salah aku mengisi perutku? Aku gak tahu kalau mama dapresi karena sakitnya, pa. Aku gak tahu kalau dia bunuh diri karena gak mau merepotkan suami dan anak-anaknya. Kalau aku tahu aku akan bilang kalau aku sama sekali gak merasa direpotkan. Aku bahkan gak sempat bilang itu sama mama dan papa masih menyalahkan aku karena meninggalkan mama?”

“Papa kemana selama ini?!” Geraldi memelankan suaranya, ia mengangguk-angguk. “Mati seperti mama? Oke. Aku akan mati seperti mama. Aku juga lari ke narkoba supaya cepat mati! Supaya tidak bertemu papa dan bang Bram lagi.”

“Geraldi!” Papanya berteriak menghentikan Geraldi yang terus saja mengoceh.

“Pergi!” Kata Geraldi, menunjuk kesembarang tempat. “PERGI!”

BUK!

Geraldi berteriak kencang sekali sambil melemparkan bantal ke arah papanya. Laki-laki itu lantas pergi begitu saja dari hadapan anaknya, sementara Geraldi menangis di atas ranjangnya dengan hati yang begitu terasa menyakitkan. Ia sangat kacau, pun Dandelion yang terkejut mendengar percakapan itu.

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang