SEPULUH

654 151 35
                                    

MALMING, NIH.

Eh udah minggu, deng. hoho.

~~

Happy Reading

~~

Sekarang Dandelion punya kebiasaan lain sepulang sekolah, ia dan Naira lebih tepatnya. Mereka pergi ke gedung ekstrakulikuler. Di kejauhan Dandelion melihat Geraldi, dia juga masuk ke gedung ektrakulikuler. Laki-laki itu menggendong biola dibahunya.

"Wah .. Ge menggendong biola, Dande." Kata Naira yang sadar kalau dia juga melihat Geraldi. "Enak mungkin ya digendong Ge, bahunya kekar banget pasti?"

Uhuk uhuk

Dande tiba-tiba batuk, ia menoleh pada Naira, wajahnya bersemu, teringat kalau laki-laki itu pernah menggendongnya. Naira terkejut dan langsung mengusap punggung Dandelion.

"Kamu gak apa-apa?" Tanya Naira. Dande hanya menggeleng, masih terbatuk.

Seorang laki-laki memberikan Dandelion sebotol air mineral. Dande mendongak dan melihat Rhazes sudah berdiri di hadapannya, wajahnya terlihat datar. Ia sudah berseragam basket, siap untuk latihan.

"Nanti pulang sama-sama lagi." Kata Rhazes. "Aku mau maju, Dande. Dan, itu enggak buang-buang waktu untukku."

Dandelion masih belum menerima air mineral dari Rhazes. Laki-laki itu meraih tangan Dandelion, membiarkan tangan mungilnya yang lembut memegang botol itu, kemudian Rhazes pergi memasuki gedung ekstrakulikuler. Dande terdiam, ia menatap punggung Rhazes yang sudah hilang. Dandelion memang pada dasarnya gadis yang cengeng, ia menangis, tidak sadar kalau Naira ada di sampingnya.

Naira sontak saja mengusap lagi punggung Dandelion, "Kamu kenapa, Dande?"

Dandelion malah semakin menangis, air mineral ditangannya terjatuh dan menggelinding, berhenti karena tertahan kaki seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka. Kaki itu milik Geraldi, entah kapan laki-laki itu datang, tapi ia sudah benar-benar ada di sana, di hadapan Dandelion.

"Kalau tidak ingin pulang sama Rhazes, kamu bisa pulang denganku." Kata Geraldi, ia mendekati Dandelion, mengangkat wajahnya dan menghapus air mata Dandelion. "Mobilku lebih besar, dan ada supirnya."

Dandelion mendongak, ia terkekeh melihat Geraldi yang mencoba bergurau dengan wajah dinginnya, maksud Geraldi dengan mobilnya adalah bus.

"Jangan menangis." Kata Geraldi, "Tunggu aku di ruang musik, lantai tiga. Nanti kita pulang sama-sama ya?"

Dandelion mengangguk, ia sudah tersenyum lagi. Tapi, Geraldi masih enggan tersenyum padahal luka dibibirnya sudah lama hilang.

Geraldi menoleh pada Naira. "Nai." Naira langsung gelagapan. "Jagain!"

"I-iya, Ge."

Setelah itu mereka pergi ke tempat masing-masing. Hari ini Dandelion diajarkan cara membuat naskah film oleh salah satu kakak kelasnya, sementara Naira juga sibuk melihat tutorial makeup artis yang diajarkan Tamara. Dandelion mudah mengerti kalau urusan tulis-menulis, beruntung klub film tidak membutuhkan keterampilan dibidang matematika.

Dandelion sesekali memandangi Bramastha yang sedang sibuk melihat temannya mengedit video, dia terlihat sangat serius, alisnya yang tebal saling bertautan. Beberapa kali Bramastha tertawa melihat akting teman-temannya, kemudian dia menggeleng-geleng karena tidak puas dengan hasil videonya.

"Dande, nanti coba menulis satu cerita ya, buat saja dulu durasinya sekitar lima menit atau sepuluh menit. Ingat, harus ada bom tak tertuga diakhir film pendek." Kata Kak Adwin, dia yang mengajari Dandelion menulis naskah. Dande hanya mengangguk, kembali fokus membaca contoh naskah. "Kalau misal naskahmu bagus, nanti kita coba cari pemeran, reading, dan langsung produksi."

SIRNA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang