🍃 Ninth Priority

2.4K 647 173
                                    

Salwa mencegat Ulin yang baru saja keluar dari kelas. Ia menarik gadis itu dan membawanya untuk duduk di salah satu bangku taman fakultas.

Tanpa mengulur waktu Salwa beralih mengeluarkan ponselnya, menampilkan ruang obrolan berisi pesan dari nomor tak dikenal pada Ulin.

"Ini lo, kan?" todong Salwa.

Sedetik mengamati Ulin lantas membulatkan pupil, "Kok tau..."

"Template chat-nya lo banget. 'cuma mau bilang' dan diakhiri dengan 'dia bukan cowok baik'," jabar Salwa, Ulin hanya menyengir, "Lo sampai ganti nomor biar gue gak bisa nebak kalau ini dari lo?"

"Ya Allah kaga. Itu mah bukan nomor gue. Kemaren gue ga sengaja ngeliat lo lewat sambil dibonceng Adam. Mana lagi pelukan. Ya gue refleks make hapenya temen gue saat itu buat ngirimin lo pesan."

"Point dari mana yang bikin lo bilang kalau Adam itu gak baik?"

"Ya pelukan itu. Gak ada cowok baik yang minta 'temen baru'-nya back hug dia di atas motor."

Salwa mengernyit, "Kan cuma back hug doang."

"Sekarang back hug besok besok dia minta lo ngapain lagi?" Ulin melipat kedua tangannya di depan dada, "Wa, Adam itu tipe cowok yang jago ngomong. Dan lo, tipe cewek yang iya iya aja. Konklusinya, Adam itu bahaya buat lo."

Salwa tidak membalas. Perkataan Ulin ada benarnya, mengingat bagaimana Adam secara alami dapat membuat Salwa mengikuti keinginannya.

"Cowok kaya Adam bahkan lebih bahaya dari pada Rendi. Lo bisa langsung menjauh dari Rendi karena dia selalu blak-blakan minta sesuatu ke lo. Tapi kalau Adam, dia bermain di kata-kata sopan yang ujungnya bikin lo ngerasa gak enak buat nolak apa aja permintaannya. Am I wrong?" lanjut Ulin.

Dengusan napas Salwa menguar. Tidak menyangkal argumen Ulin. Toh jika urusan menilai seseorang, Ulin memang lebih jago.

"Gue gak nyuruh lo menjauh dari Adam kok, Wa. Cuma jangan terlalu deket aja. Gue cuma gak mau lo yang duluan jatuh cinta sama dia."

Karena Ulin paling tidak ingin melihat Salwa dikecewakan lagi dengan oknum laki-laki. She's too soft to this world.

Dan pembicaraan mereka kala itu terinterupsi berkat seruan Esa yang kebetulan melintas.

"Oit ciwi-ciwiku! Masih ada kelas gak?"

Ulin dan Salwa kompak menggeleng.

"Mantep. Nebeng pulang dong. Tadi gue pergi bareng Adam tapi pulangnya ini ya tau sendiri lah, Aca mengambil alih. Sedih mah aku."

Aca lagi. Tampaknya Salwa memang harus terbiasa mendengar nama Adam disematkan bersama Aca dalam satu kalimat. Apa mereka memang tidak terpisahkan seperti itu?

Ulin mungkin menyadari perubahan ekspresi Salwa. Jadi ia pun lebih dulu merespon Esa, "Yausah Sa, lo sama gue aja. Awa masih harus nunggu Kak Sa tuh pulangnya."

"Oh gitu? Okeey thank you LinLin!"

Baru saja Esa dan Ulin pamit pada Salwa, Esa tiba-tiba teringat sesuatu. Maka ia menahan langkahnya sebentar sembari menoleh,

"Eh, Wa. Gue lupa bilang. Kemarin Aca minta gue ngirimin nomor lo ke dia. Soalnya dia mau minta tolong Kak Salsa ngajarin resep kue gitu buat acara keluarga dia."

"Dia tau gue adeknya Kak Sa? Tapi kok mintanya nomor gue?" tanya Salwa bingung.

Esa menaikkan bahunya, "Katanya sih segan mau minta tolong langsung ke Kak Salsa kan dia gak kenal, jadi mending dia lewat lo aja yang kebetulan seangkatan."

[✔️] Re-HelloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang