Aca mengerutkan keningnya, menatap lekat sosok Adam yang tengah serius mengetik di laptopnya. Ini adalah jam istirahat, kelas terakhir mereka akan di mulai pukul tiga nanti. Sejujurnya dari pagi tadi begitu Adam tiba di kelas, Aca sudah terkejut karena dia datang dalam kondisi wajah yang seperti itu. Aca tau, Adam berkelahi lagi. Namun, meski demikian Aca terpaksa harus menahan diri untuk bertanya. Setidaknya sampai saat ini.
"Gara-gara Salwa lagi?" tanya Aca to the point.
Adam langsung mengerti arah pembicaraannya, lantas ia mengangguk saja.
Membuat Aca mendesah lelah, "Sekarang lo udah jadi preman ya semenjak deket sama dia. Berantem mulu."
"Ca, ini emang salah gue."
Aca tetap saja tak terima. Tapi dia memilih mengalihkan topik dulu, "Anyway, kata Bunda, Ayah kemarin datang ya?"
"Iya. Tapi sorry, Ayah gak sempet mampir ke rumah lo. Dia cuma sehari di Jakarta, tadi pagi udah balik lagi ke Batam."
Aca membulatkan bibir sembari mangut-mangut, "Papa sama Mama udah dikasih tau kok."
Adam pikir Aca sudah selesai dengan pertanyaannya, jadi dia bisa lanjut fokus mengerjakan latihan soal. Namun, ternyata Adam salah. Gadis itu lagi-lagi bersuara.
"Terus Ayah ngomong apa soal luka lo?"
"Nasehatin aja. Yaa, boys talk sih, semacam itu lah." balas Adam sekenanya.
"Did he knew who's girl that made you like this?"
Ayolah. Lama-lama Adam jadi kesal, "He knew much than you know. Can you please stop dragging Salwa in this topic?"
"Gimana gak bawa-bawa Salwa, dia bikin lo berantem loh, Adam. Dan gak cuma sekali. Seorang yang baik kayak lo bisa jadi buruk cuma gara-gara masalah cewek."
Adam menghela napas kasar. Lagi, label orang yang baik untuk dirinya seolah membebani Adam. Aca tidak pernah tau bagaimana Adam mencoba menyesuaikan diri dengan predikat itu di saat kenyataannya dia masih jauh dari kata baik.
Dan karena Adam tidak membalas apapun, Aca memilih untuk berterus terang. Di titik ini dia memang menyadari bahwa Aca tidak ingin melihat Adam seperti ini hanya demi Salwa.
"Gue nggak suka lo deket sama dia, Dam. Seseorang pernah bilang kalau mungkin perasaan gue selama ini bukan hal yang wajar dalam kategori teman. Dan benar, gue baru sadar sekarang." Aca menjeda kalimatnya, "Gue suka sama lo. Bukan sebagai teman, tapi sebagai cewek yang suka sama cowok."
Adam terdiam. Refleks menoleh pada Aca dan mempertemukan manik mereka. Tentu saja lelaki itu terkejut. Tak menduga kalimat seperti itu akan keluar dari bibir sahabatnya.
"Kenapa lo kaya kaget banget sih? Gue jadi merasa bakal ditolak nih..." gumam Aca.
"Sejak kapan?" tanya Adam balik.
Aca mengulum bibirnya, "Gak tau. Dulu gue pikir, gue gak mau lo punya pacar karna takut kalau kita gak akan bisa sahabatan lagi. Tapi ternyata alasannya gak gitu. Gue cemburu. Karena gue gak pernah mau lo dimiliki sama orang lain."
Pikiran Adam mendadak penuh. Semua masalah seakan menumpuk dalam otaknya. Adam memijit keningnya yang terasa berdenyut.
"Ca... Why you told me now..."
"Is't the good way? Kalau gue lebih lama nyimpen perasaan ini tanpa sepengetahuan lo, kayaknya gue bakal lebih tersiksa sendiri."
Benar. Semua ucapan Aca masuk akal. Dia tidak sedang bersikap egois sekarang, namun justru Adam lah yang mungkin akan berbuat demikian. Adam betulan tidak punya perasaan lebih pada Aca. Pun Adam tidak ingin menyakiti hati gadis itu setelah menerima pernyataan cintanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Re-Hello
FanfictionKarena sejatinya, baik Adam maupun Salwa tidak sempat menduga jika pertemuan mereka akan berlanjut lebih dari sekali. written on: Feb 14, 2021 - June 24, 2021. ©RoxyRough