🍂1🍂

967 190 15
                                    

Kecewa. Marah. Remaja lelaki yang bernama lengkap Auriga Dirgantara itu rasanya ingin menghancurkan semua barang yang ada di kamarnya. Wajahnya tersenyum miris bersamaan dengan air mata yang perlahan luruh, air mata yang selama ini ditahannya. Namun secepat itu juga Auriga hapus. Pantang baginya menangis meskipun semakin Ia tahan, rasa sakit semakin bersarang dalam hatinya. Tangannya yang terkepal erat menonjolkan urat-urat yang seakan mengencang bahkan bisa jadi terputus mungkin? Auriga bukanlah orang yang lihai menahan emosi, terlebih dirinya masih dalam usia remaja.

Orang tua Auriga memilih berpisah. Keluarga harmonis yang sudah dua puluh tahun terbina itu kandas begitu saja. Sampai sekarang Auriga belum tahu pasti apa yang membuat orang tuanya memutuskan bercerai, hanya saja memang sudah satu tahun terakhir Auriga melihat sang Papa jarang pulang ke rumah mereka dan mama yang semakin diam seakan hidupnya tidak berarti lagi. Rangkaian kejadian itu Membuat Auriga kacau, orang tua yang dulu begitu perhatian dan menyayanginya telah berubah.

Auriga kehilangan sosok mereka.

"Biar Auriga ikut saya!"

"Tidak! Aku yang melahirkan Auriga. Auriga ikut aku."

"Terserah. Biar anak itu yang memutuskan."

Pusing. Kepala Auriga rasanya ingin pecah. Hampir setiap hari Ia harus mendengar kedua orang tuanya ribut atau sebaliknya, perang dingin yang berlangsung berhasil membuat Auriga lupa bahwa tempat itu adalah rumahnya.

Cklek. Auriga membuka pintu kamar,  dengan tatapan dinginnya Auriga keluar menghampiri kedua orang tuanya.

"Auriga, Papa harus pergi. Kamu sudah tahu jika kemarin papa telah resmi berpisah dengan mama mu. Sekarang silahkan kamu pilih ikut Papa atau Mama."

Papanya menjelaskan, Auriga lamat melihat 3 koper yang mengelilingi pria hampir paruh baya itu. Mamanya hanya memasang wajah datar. Tidak ada lagi senyum hangat yang biasanya menghiasi rumah mereka.

"Cih. Auriga tidak ingin ikut kalian. Silahkan berpisah saya akan tinggal sendiri, menyewa atau kalau bisa belikan apartement untuk saya. Saya tidak akan lagi membebani kalian berdua."

Auriga menatap datar keduanya, tidak ada gunanya lagi mencegah keduanya berpisah. Tidak ada lagi harapan untuk keluarganya kembali bersatu seperti sebelumnya sekalipun lelaki itu menangis dan memohon. Auriga sudah mengupayakan berbagai cara sampai setahun ini dari siswa terbaik menjadi siswa biang onar di sekolahnya, namun tetap saja itu tidak mengubah apa-apa.

Auriga menyerah. Membiarkan orang tua lelaki itu berbuat semau mereka.

"Kamu yakin mau tinggal sendiri?"

"Ya."

"Baiklah, papa pastikan besok apartemen kamu sudah siap. Papa permisi. Kamu jaga diri."

Auriga hanya diam. Mamanya beranjak ke kamar, papanya keluar rumah. Auriga setengah mati menahan segala emosi yang berkecamuk dalam benaknya.

Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk keluar rumah. Biarlah, terserah langkah kakinya akan membawanya kemana. Meskipun hari sudah mulai gelap. Tetapi Auriga tidak peduli.

Sampai akhirnya langkah kaki itu berhenti di pinggir danau komplek perumahannya, Auriga menjatuhkan dirinya, duduk menatap ke arah danau gelap dengan pandangan yang tidak mampu diartikan.

Orang tuanya berpisah.
Dirinya terancam dikeluarkan dari sekolah.
Sahabat sekaligus perempuan yang dia cintai tidak lagi peduli padanya.
Semua orang perlahan meninggalkannya.

Kenapa hidupnya jadi pahit seperti ini? Untuk apa dan siapa lagi dia hidup? Bukankah semuanya sudah hancur berantakan?

Batinnya bertanya-tanya sampai dia mendengar sesuatu.

 Autumn Leaves Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang