🍂18🍂

590 151 34
                                    

Plak!

Satu tamparan yang cukup keras meluncur begitu saja di atas pipi Kanya. Siapa lagi kalau bukan sang Mama yang selalu mengagungkan kata sempurna itu yang melakukan?

"Sudah bosan kamu menyandang nama Sanjaya? Bisa-bisanya kamu malah hujan-hujanan naik motor sama lelaki. Kalau ada media yang melihat bagaimana? Kamu pintar tetapi kenapa terkadang otak kamu tidak bisa berfungsi dengan baik? Jawab!"

Kanya sudah sesenggukan. Sungguh, tubuhnya menggigil. Meskipun jaket milik Auriga cukup membantu namun tetap saja, dinginnya masih terasa menusuk.

"Maaf Mah.."

"Awas kamu ya!"

Elizabeth pun meninggalkan Kanya yang menangis tersedu di tengah menggigilnya. Demi Tuhan, Kanya sangat merasa tertekan atas semua ini. Kanya butuh pelindungnya lagi.

🍂🍂🍂

Hari ini adalah dimana babak final turnamen digelar. Dimana lawan Gemilang kali ini merupakan salah satu sekolah swasta yang cukup bergengsi seperti Gemilang. Banyak jebolan sekolah ini yang menjadi pemain dari tim-tim besar yang berlaga pada kancah nasional. Tentunya, hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Gemilang. Tahun lalu, Gemilang bertemu dengan tim ini di babak semi final yang mengirim mereka pada kekalahan. Siapa sangka, tahun ini mereka berlaga pada babak puncak.

"I'm so nervous Sky.." Seperti kemarin, satu jam sampai dua puluh menit sebelum pertandingan dimulai, Pak Robi memberi mereka waktu luang. Entah untuk bersantai agar tidak tegang, mengisi perut dengan catatan tidak terlalu kenyang atau meminta dukungan. Apapun boleh mereka lakukan dengan syarat dua puluh menit sebelum pertandingan semuanya kumpul dengan disiplin. Dengan waktu yang diberikan itu, Auriga sendiri lebih memilih berbincang dengan Sky. Mengutarakan apapun yang dia rasa karena pacarnya ini pendengar sekaligus penenang yang baik--sebelum dirinya membangun sinergi bersama rekan satu timnya.

"Kamu tau kan, aku berharap banget dengan pertandingan ini aku bisa balikin reputasi aku yang udah aku hancurin kemarin. Meskipun aku tau gak akan semudah itu tetapi paling gak, aku mau nunjukin kalo Pak Robi gak salah mempercayai aku."

Wajah Auriga begitu diliputi kegelisahan.

"Ar.. dengan dipilihnya kamu sebagai kapten itu berarti memang kamu pantas. Dan aku harap kamu nggak terlalu terbebani dengan reputasi kamu. Maksud aku, seiring berjalannya waktu aku yakin reputasi kamu akan membaik dengan sendirinya. Karena apa? Karena pada dasarnya kamu anak yang baik. Kamu siswa teladan. Kamu akan balik lagi seperti itu. Jadi just do your best. Kita di sini semua dukung kamu."

Wajah yang satu menit lalu itu tampak gelisah kini mulai berangsur tenang, kalimat-kalimat afirmatif seperti itu memang tanpa sadar dibutuhkan Auriga. Remaja berusia 17 tahun itupun mengembangkan senyumnya. Mencoba mengisyaratkan kata-kata lebih terima kasih, seandainya ada.

"Kalo aku juara, aku bakal peluk kamu langsung meskipun itu di tengah lapangan."

"Malu tau! Eh tapi yaudah berarti kalo gak juara gak boleh peluk aku ya? Haha. Wlee."

"Kok gitu?! Gak mau."

"Hahahaha."

Auriga pun mengacak rambut dan mencubit hidung Skyla dengan gemas. Keduanya saling tertawa. Berusaha melepas beban tak kasat mata yang ada dalam pikiran mereka.

drrrrttt.

Deringan ponsel menginterupsi keduanya. Ada satu pesan masuk dari salah satu teman sekelas Auriga.

"Rig gue tadi liat Jaden sama Kanya di belakang Aula. Kayanya si Jaden marah-marah gitu. Gue gak berani samperinnya."

shit.

 Autumn Leaves Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang