10. Sosok Luar Biasa

1.7K 311 20
                                    

'Aku selalu merasa beruntung bertemu sosok seluar biasa kamu.'

Al-Khawarizmi & Humairah

~Thierogiara

***

Dalam suasana sunyi senyap, Al memutuskan mengendap-endap keluar dari rumah, terdengar tidak sopan memang, tapi kalau tidak begini dia tidak akan bisa pergi. Subuh ini dia akan salat di masjid dulu baru setelah itu pulang ke rumah, mencurahkan sejuta kangen pada sosok yang membuatnya sulit terpejam semalaman. Power Aira sangat besar, apalagi semenjak dia hamil, Al selalu ingin berada di dekatnya untuk setidaknya memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Al tidak pamit bahkan dengan Syifa, karena jujur saja air mata dan permohonan wanita itu selalu membuatnya lemah, sementara Al cukup merindukan sosok yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Meski Syifa istrinya juga, tapi rasa bersalah Al terhadap Aira jauh lebih besar, dia tidak bisa begini terus.

Al sudah kadung menjadi orang jahat, sekarang hanya tinggal penyesalan, hidupnya tak akan pernah tenang setelah ini.

Al menghabiskan sepuluh menitnya di dalam masjid, berdzikir, memohon ampun atas segala kelalaian yang terjadi dalam hidupnya. Berhadapan dengan Allah dia berusaha untuk menjadi hamba yang sangat rendah. Dia banyak kali melakukan kesalahan dan dia bahkan tidak pantas atas segala permohan yang ia pinta untuk sebuah pengampunan.

Al masuk mobil dengan keadaan mata sembab dan wajah memerah, dia berusaha menenangkan diri dulu baru setelah itu kembali menjalankan kendaraannya.

Beberapa kali di dalam mobil Al menghela napasnya, dia sebenarnya tak terlalu banyak melakukan pekerjaan namun rasanya tetap lelah, lelah dengan segala perdramaan yang kebetulan ia buat sendiri.

Laju mobil Al sangat pelan, hingga dia sampai di rumah saat dunia sudah benar-benar terang, padahal dia keluar dari rumah Syifa saat matahari belum muncul. Al keluar dari mobil dan sekali lagi mematut dirinya di kaca mobil, memastikan bahwa penampilannya baik-baik saja sekarang.

Baru saja Al melangkah masuk ke dalam rumah ponselnya sudah berdering dan nama Syifa terpampang di layar ponsel tersebut, karena dia benar-benar sedang ingin bersama Aira sekarang maka Al mematikan ponselnya, persetan dengan pekerjaan, dia lebih baik di skors dari pada berada di situasi tidak nyaman seperti ini.

Kakinya perlahan melangkah masuk ke dalam rumah, menapaki satu per satu anak tangga menuju ke lantai dua. Batang hidung Aira tak ia temukan di sudut-sudut ruangan di lantai satu, maka kesimpulannya istrinya itu pasti sedang ada di kamar.

Al masuk dan langsung dapat melihat sosok Aira yang tengah membaca buku di sofa panjang yang ada di kamar itu.

"Mas," sapanya begitu melihat Al.

Al tersenyum, suasana hatinya membaik kala mengetahui Aira juga baik-baik saja.

Al melangkah mendekat, bukan Aira yang mencium punggung tangannya, tapi Al yang lebih dulu mengambil tangan Aire membolak-baliknya dan menciumnya berkali-kali, Aira cukup heran namun tak menemukan waktu yang tepat untuk bertanya lebih.

Al mendudukkan diri di sebelah Aira lantas menyandarkan tubuh ke sandaran sofa dengan kepala yang bertumpu di bahu Aira.

"Udah sarapan Mas?" tanya Aira.

Al malah mengusel-usel bahu Aira dengan hidungnya.

"Belum, tapi nggak laper, kamu di sini aja. Aku cuma butuh kamu," ungkap Al, terdengar aneh untuk kesekian kalinya, tapi ya Aira tetap berpikir positif mungkin ini semua bawaan bayi.

Aira membelai pipi Al, matanya tak teralihkan dari buku soal kehamilan yang ia baca, Al melihat itu dan seketika perasaannya menghangat, Aira benar-benar mempersiapkan diri untuk menjadi ibu terbaik bagi anak mereka. Laki-laki itu mengambil tangan Aira, menyatukan ruas jari-jari mereka lantas menggenggam tangan Aira dengan seerat-eratnya.

"Aku nggak bakal pergi ke mana-mana kok Mas," canda Aira.

"Bukan kamu, tapi aku, aku takut nggak akan pernah bisa di sini terus sama kamu."

Aira menghela napas.

"Jangan ngomong gitu ah."

Al tak menjawab kembali ia mencium punggung tangan Aira, sekarang hidupnya dilingkupi perasaan yang ia sendiri tak mengerti. Dari banyak hal di dunia, Al hanya ingin menghabiskan waktu bersama Aira, itu saja.

***

Benar-benar seperti tak terpisahkan, Al yang tak terbiasa bermanja-manja ria seolah tak bisa jauh dari Aira. Anehnya mereka berdua tidur siang bersama, tiba-tiba Al terbangun dan tak mendapati Aira di tempat sebelum mereka berdua memejamkan matanya. Hal itu membuat Al kelabakan seketika. Dia mencari Aira ke seluruh penjuru rumah dan ternyata istrinya itu hanya sedang di halaman samping melihat burung-burung peliharaan Al yang sudah lama memang tak diurus, ada yang mengurus tapi bukan Al langsung.

Al mendesah lega, bahunya yang semula menegang meluruh, mata sendunya langsung tak bisa teralih dari sosok berkerudung hitam di depan sana.

Laki-laki bertubuh jangkung nan berisi itu mendekat lantas menyelipkan tangannya di sela tangan wanita itu. Al memeluk Aira.

"Loh udah bangun?"

Aira bisa merasakan anggukan karena kepala Al sekarang bertopang di bahunya. "Kok kamu tinggalin aku sih?" tanya Al.

Aira terdiam, apa melihat burung di halaman samping rumah mereka termasuk dalam meninggalkan? Ada apa sebenarnya dengan Al? mereka bahkan sudah terbiasa berpisah berhari-hari.

"Tadi tiba-tiba denger suara burung dan pengen lihat," jawab Aira jujur, entahlah itu termasuk mengidam atau tidak, namun dia benar-benar merasa puas setelah melihat burung-burung peliharaan Al yang berada dalam satu kandang.

Al malah tertawa, sampai kini dia masih tak habis pikir dengan beberapa hal polos yang secara alami menguar dari Aira.

Al menarik pipi Aira, semenjak menikah rasanya hal itu sudah menjadi rutinitas. "Gemes bangettt kelakuan!"

Aira ikut tertawa, dia kira malah yang dilakukannya normal. Dia murni hanya ingin melihat burung-burung dengan suara nyaring itu.

"Ternyata burung lebih menarik dari aku."

Aira tertawa. "Nggaklah, kamu tetep lebih menarik."

"Buktinya kamu lebih tertarik sama burung daripada aku, aku ditinggalin sendirian." Al berkata manja, sangat tidak cocok dengan dirinya.

Aira sampai menatap Al mendengar kalimat yang meluncur bebas dari mulut suaminya itu.

"Yang hamil aku loh."

"Iya yang ngehamilin aku."

Aira tertawa dulu karena apa yang Al katakan cukup menggelikan.

"Kok kamu yang manja sih?"

Al malah mengeratkan pelukannya. "Emangnya nggak boleh manja? Sama istri sendiri ini."

Aira beru tahu sekarang kalau Al serandom itu, dia tak habis pikir dengan kelakuan suaminya setiap hari. Kadang bikin kaget, kadang juga bikin bahagia.

"Tapi kamu nggak apa-apa kan Mas?"

Al menatap Aira, apa Aira mulai curiga? Al bahkan lupa kalau dia masih memiliki sesuatu yang disembunyikan dari istrinya itu.

"Nggak apa-apa gimana?" tanya Al.

"Ya kan tadi malem kamu nggak pulang, kayaknya sibuk banget, ini juga meluk mulu, semuanya aman kan? Kerjaan kamu aman kan?"

Al mengangguk, relung hatinya seolah tercabik mendengar pertanyaan Aira, dia tak memiliki pekerjaan lain di luar pekerjaannya sebagai pilot, bagaimana bisa pikiran Aira sepositif ini?

***

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Mas Al dan Mbak Ai menyapa...

Jangan lupa vote & comment ya!

Al Khawarizmi dan HumairahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang