25. Healing

2.4K 333 5
                                    

'Karena cintamu adalah cinta terbaik yang pernah kumiliki.'

Al-Khawarizmi & Humairah

~Thierogiara

***


Perlahan-lahan mulai terasa bahwa beberapa hal tidak benar, Aira hamil kemudian Al menuruti mengidam istrinya itu dengan membelikannya apa yang ia inginkan dan masalahnya adalah Al membelikan apa yang istrinya inginkan bersama istri keduanya. Lucu bukan? Tidak ada yang berusaha melawak tapi ini lucu, Aira bahkan lelah mentertawakan dirinya sendiri. Semakin hari dia selalu mensugest dirinya untuk menerima apa yang terjadi, memahami bahwa kondisi sudah tak lagi sama dengan awal menikah. Namun, sampai akhir dia tetaplah manusia, dia tetaplah seorang wanita yang kebanyakan menggunakan hatinya dan itu cukup membuatnya merasa tersakiti.

Aira tak ingin lari, namun cukup sesak jika harus bertiga, dia ingin berdua saja, jikapun harus ada orang ketiga maka itu adalah anak mereka. Kedengarannya sangat egois, tapi apa Aira tak boleh menjadi egois? Dia juga manusia.

“Mas aku boleh ke Labuan Bajo?” Setelah sekian lama tertahan di tenggorokan akhirnya pertanyaan itu mengudara juga, Aira butuh waktu untuk sendirian, memikirkan soal apakah dia harus bertahan dalam situasi sulit ini?

Al tersenyum antusias. “Yuk kapan?”

“Aku sendiri aja.” Seketika senyuman itu lenyap, berganti tautan alis.

“Maksud kamu?”

“Kamu nggak salah apa-apa kok Mas.” Dan Aira berusaha membuat Al tak salah sangka. “Aku cuma merasa butuh waktu untuk sendirian.” Aira melanjutkan kalimatnya, meski tahu bahwa istrinya itu sama sekali tak bermaksud apa-apa, tapi tetap harga diri Al agak terluka, dia adalah tempat pulang Aira, seharusnya Aira merasa nyaman dengannya.

“Kenapa Labuan Bajo?”

“Karena laut, aku butuh tenang, tinggal di kapal selama beberapa hari menemukan sesuatu yang selama ini aku cari.” Ketenangan, hamparan laut mungkin akan memberikan itu untuknya.

“Kenapa harus tanpa aku?” Dan Al tak pernah siap jika Aira melakukan semua hal tanpanya, dia masih ingin mendengar Aira merengek meminta dibelikan sesuatu, Al tak ingin Aira terlalu mandiri kemudian keadaan akan berubah. Karena dia senang, senang dengan kerepotan yang Aira ciptakan untuknya.

Hening menyelimuti, pertanyaan sulit.

“Karena aku akan memikirkan soal kita, bukan tentang aku nggak butuh kamu, tapi tentang aku yang butuh waktu memikirkan sendiri apa yang akan terjadi sama kita ke depannya.”

“Ra...”

“Hmm?”

“Seharusnya dari awal kamu nggak usah berpura-pura baik-baik aja, berusaha menerima Syifa dalam hidup kita. Kamu menyakiti diri sendiri.” Al memandang sendu sang istri, dia selalu serius dengan kemarahannya jika Aira terlalu peduli dengan Syifa, bukankah yang paling dan harus diselamatkan terlebih dahulu adalah perasaan sendiri?

“Aku nggak pernah pura-pura, aku hanya sedang berusaha, penerimaanku atas Mbak Syifa selama ini benar adanya, aku selalu berusaha karena memang itu hak Mbak Syifa, tapi ternyata aku nggak sanggup.”

“Maaf atas segala rasa sakitnya,” ucap Al, dia hampir putus asa dan kini rumah tangganya di ujung tanduk, karena Aira pasti memiliki dua opsi setelah dia pergi untuk mengambil keputusan.

“Kamu nggak pernah menyakitiku Mas...”
“Kalau bukan karenaku kamu nggak akan pernah berada di situasi ini. Pergilah, aku izinkan, izinkan aku juga karena aku akan bekerja selama kamu di sana.”

Sepasang mata itu sudah berkaca-kaca, liquit bening siap meluncur begitu saja, haru menyelimuti padahal sebelumnya mereka baik-baik saja. Syifa juga sudah pulang ke rumah orang tuanya, di rumah itu hanya tinggal mereka berdua.

“Terima kasih suamiku.”

“Kabari apa pun yang terjadi.”

***

Dengan memberanikan diri, melampaui diri sendiri, berusaha mengalahkan segala bentuk ketakutan. Akhirnya tangan itu menggeret koper sampai di kota tujuan, sendirian dengan kondisi hamil, bukan karena dia menolak keberadaan sang suami, tapi karena keberadaan itu sendiri yang harus dia pikirkan, sampai kapan mereka akan bersama.

Untuk menuju kapal tempatnya menginap wanita itu harus naik boat dulu, nanti akan bertemu dengan teman-teman lain yang juga menyewa kamar di kapal. Sebelumnya mereka sudah saling menyapa di grup WA, Aira harap sama seperti di online, di dunia nyata juga mereka ramah.

Wanita itu membiarkan angin menyapa wajahnya. Kerudung pink pastel yang ia kenakan berkibar terbawa angin. Ah baru begini saja rasanya sudah menenangkan. Ternyata dia benar-benar membutuhkan ini, dia butuh self healing, sebelumnya tak pernah melakukannya, tapi beruntung dia menikah dengan orang seperti Al. Laki-laki itu baru saja menelepon katanya sudah bersiap berangkat bekerja. Dia juga mengungkap bahwa dirinya sudah sangat merindukan Aira.

Setiap kata perihal rindu yang lelakinya ungkapkan sebenarnya menggoyahkan batin Aira, namun keputusannya sudah bulat untuk memikirkan semuanya secara matang. Tidak mudah, tapi bukankah hidup selalu seperti itu? Dia tak akan pernah menyajikan kemudahan, maka jiwa yang menjalaninya yang harus kuat.

Aira tak sedang berlari dari masalah, tapi sedang berusaha menguatkan diri untuk menyelesaikan semuanya secara dewasa. Dan memang mungkin baik dirinya maupun Al butuh waktu sendiri-sendiri dulu.

Aira sampai di kapal dan langsung istirahat di kamarnya, sebelum ke kamar dia juga sempat menyapa beberapa orang yang akan satu kapal dengannya selama empat hari ke depan, rata-rata dari mereka juga merupakan solo traveler. Semua hal yang ia temui hari ini cukup mampu membuatnya merasa tenang, jujur hal ini yang dia inginkan.

***

Aira keluar untuk makan malam, kembali ia menyapa rekan-rekannya yang lain. Dia melempar senyum ke beberapa orang, dia hanya sendiri, mungkin beramah-tamah adalah pilihan tepat. Sembari menikmati segelas sari jeruk pandangannya menyapu sekitar, ah sudah lama sekali dia tak merasakan kenyamanan seperti ini, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, mungkin jika orang lain penasaran bisa mencoba melakukan hal yang sama dengannya.

Al menelepon lagi.

Aku udah di hotel.” Al mengadu, sebelumnya dia juga ada penerbangan, Aira sama sekali tak memantau penerbangan suaminya, bukan berhenti peduli, hanya memaksimalkan waktu sendiri.

“Alhamdulillah.”

Kamu?

“Dari sore udah di kapal, belum mood jalan-jalan jadi istirahat doang.” Ya walau dari tour yang dia booking seharusnya ada agenda jalan-jalan, tapi Aira memutuskan untuk tak melakukannya.

Kangen banget.”

Aira menipiskan bibirnya.

“Aku juga.”

Ya udah hati-hati ya, kalau ada apa-apa kabari.”

“Hmm.”

Bukan kehilangan rasa, hanya saja semua mulai hambar, Aira selalu dihantui dengan kemungkinan Al melakukan hal yang sama ke Syifa, memberi kabar juga merupakan sesuatu yang berarti.

“Hai,” sapa seseorang yang lantas duduk di sebelah Aira.

Aira hanya menipiskan bibirnya karena jujur dia tak terbiasa berinteraksi dengan pria.

“Dari Jakarta?”

Aira mengangguk.

“Aku juga, kenalin Fery.” Laki-laki itu tak mengulurkan tangannya, hanya menyebut nama.

***

Al Khawarizmi dan HumairahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang