'Bukan karena aku, bukan pula karena kamu tapi karena Allah yang tak pernah salah dalam menyusun skenario untuk hamba-Nya.'
Al-Khawarizmi & Humairah
~Thierogiara
***
Kalau saja Aira tak menahannya dan tak mengelus-elus bahunya mungkin saat itu juga Zahra sudah menjambak rambut Syifa dan terjadi keributan di sebuah pusat perbelanjaan. Kini Zahra hanya diam fokus pada jalanan menuju rumah, semua agenda soal berbelanja bulanan, bahkan susu Aira pun tidak jadi di beli. Sebelum masuk mobil Zahra memperingatkan Al untuk datang sekarang juga ke rumah orang tua mereka. Al meminta Aira ikut dengannya namun dengan tegas Zahra menolak hal tersebut. Dia saja kesal melihat wajah Syifa apalagi Aira, Aira sedang hamil, jadi tak boleh melihat hal-hal buruk.
Sesekali Aira melirik adik iparnya itu, entahlah dia jadi sulit berpikir sekarang.
"Abang sama perempuan itu menikah Kak?" tanya Zahra.
Aira meremas tangannya sendiri perlahan ia mengangguk.
Setelahnya Zahra tak bertanya lebih lanjut, mereka sampai di kediaman kedua orang tua Al. Begitu mobil yang mereka kendarai terparkir di halaman mobil Al ikut menyusul masuk. Aira turun, Al juga sama, Al menatap Aira, saat ingin mendekat Aira meninggalkannya. Aira masuk ke dalam rumah beriringan dengan Zahra sementara Al di belakang dengan Syifa yang menggelayut manja di lengannya, ini adalah pertama kalinya ia datang ke rumah itu sebagai menantu.
Fatih dan Vee yang menemani anak-anak bermain di ruang keluarga tercengang melihat Al justru bergandeng tangan sahabatnya bukan istrinya. Seharusnya meski sahabat karib tidak begitu kan?
Zahra, Aira, Al dan Syifa mengabaikan tatapan bingung semua orang. Zahra langsung membawa mereka semua ke ruang kerja abinya, Zahra yakin Aira akan tetap diam selamanya, maka dia yang harus bertindak tegas. Zahra paling tidak bisa melihat kezaliman terjadi.
"Tunggu di sini." Zahra melirik sinis ke arah Al setelahnya keluar dari ruang tersebut untuk memanggil abi dan umi yang ada di kamar.
Al melepaskan pegangan Syifa lantas berjalan menuju Aira, saat tangannya bergerak untuk memegang tangan Aira, Aira mundur. Dia juga berusaha untuk tak menatap ke arah Al, karena pasti dia akan lemah dengan tatapan laki-laki itu. Aira ingin menghargai keberadaan Syifa, Al tak boleh berat sebelah.
Umi abi masuk ke ruangan, Zahra sudah menjelaskan sedikit. Al langsung mendapatkan tatapan kekecewaan dari sang umi, namun abinya masih diam seperti biasa.
Mereka semua duduk, Yumna membawa Aira ke sebelahnya, terang-terangan menunjukkan pada Syifa bahwa dia sangat menyayangi menantunya itu. Zahra tak turut bergabung di sana, ruangan itu hanya diisi lima orang. Arifin di kepala sofa, Al dan Syifa di kirinya sementara Yumna dan Aira di kanannya. Al berusaha menatap Aira, tapi Aira selalu membuang pandang, terkesan menghindar.
"Jadi apa yang sebenarnya terjadi?" Arifin sebenarnya cukup terkejut karena selama ini rumah tangga anak-anaknya damai-damai saja.
Al menarik napas kemudian menceritakan semuanya, semuanya soal dia yang memang melakukannya demi menolong keluarga Syifa.
"Tapi Kawa mencintai saya," ungkap Syifa, Al langsung menatapnya terkejut.
"Ya kan Kaw?" Kali ini dia menggoyangkan lengan Al meminta persetujuan. Al memilih tak menjawab, sama seperti kata Aira dia tak boleh berat sebelah.
Aira hanya diam menunduk, dia sudah siap dengan segala bentuk rasa sakit. Luka-luka yang Al berikan bukan yang pertama untuknya, selama ini juga Aira sudah sering terluka.
Yumna mengelus bahu menantunya, dia bahkan ikut sakit mendengar hal itu, apalagi Aira, kondisinya sedang hamil pula.
Arifin juga tak tahu harus bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi.
"Umi kecewa..." Yumna angkat bicara.
Hatinya teriris melihat tangan wanita yang bukan Aira menggelayut di lengan anaknya.
"Sejak awal Umi sudah mengatakan untuk melamar Syifa tapi kamu bersikeras bahwa kalian hanya sahabat, sekarang apa? Kamu membawa Aira ke dalam kehidupanmu bukan untuk mendapat perlakuan seperti ini." Uminya kembali berbicara.
Aira masih diam, dia juga tak tahu harus mengungkapkan rasa sakitnya dalam bentuk apa, dia terluka, sangat terluka, tapi balik lagi semuanya sudah terjadi, Al bukan hanya miliknya.
Dia memang pengecut, dia pecundang, dia berdosa pada Aira.
"Apa keputusan kamu selanjutnya?" tanya Arifin.
"Bertahan dengan Aira."
Syifa menatap Al tak percaya, dia kira dia akan dipilih mengingat belakangan perlakuan Al mulai baik padanya.
"Abi juga kecewa, kamu meminta seorang anak perempuan dari orang tuanya, lantas setelah itu bermain belakang. Kamu izin sama Aira?"
Al menggeleng. "Tapi Al nggak bermain belakang, saat itu keadaannya memang memaksa Al untuk mengambil keputusan singkat dan nggak ada waktu untuk meminta izin pada Aira." Al menjelaskan. Sebenarnya apa yang keluar dari mulutnya juga menyakitinya, apalagi Aira hanya diam yang membuatnya berkesimpulan bahwa wanita itu lelah dengan semuanya.
"Sekarang Kawa cinta sama saya!" Syifa berusaha menarik perhatian semua.
"Tapi baru sekarang?" tanya Yumna. "Kenapa baru sekarang kamu sadar akan hal itu? Kalian sudah lama dekat, status Al yang sudah menikah seharusnya membuat kamu paham bahwa keadaan kalian sudah tak lagi sama!"
"Saat itu juga saya nggak tau Mi kalau Al sudah menikah," kata Syifa.
Kepala Al mau pecah rasanya, dia bukan stress karena omongan Syifa, dia hanya terlalu memikirkan apa sebenarnya yang Aira pikirkan hingga wanita itu memilih tetap diam.
"Ra..." panggil Al yang sudah hampir gila.
"Iya Mas?" Masih selembut itu.
"Utarakan apa yang kamu rasakan."
Aira tersenyum. "Sebenarnya aku sungkan karena menjadi yang paling muda di sini. Kalau boleh mengutarakan, aku juga kecewa sama kamu Mas, seharusnya kamu jujur sejak awal, aku nggak mau membenci sunnah, walau sejak awal inginnya kita beribadah berdua saja, jika sudah terlanjur aku bisa apa? Mari kita jalani semuanya karena Allah. Keberadaan kamu yang selalu berusaha ada untuk aku dan anak kita rasanya cukup kok."
Yumna langsung memeluk tubuh menantunya itu. "Kamu kuat sekali sayang," katanya tak habis pikir.
Aira masih tersenyum hingga akhir.
"Jadi kamu ikhlas?" tanya Arifin.
"Terlalu munafik kalau Aira bilang Aira ikhlas, sekarang hanya sedang berusaha dan mencoba tak membenci ketentuan Allah."
Al? Tentu bergeming, sekali lagi dia mencoba mengingat-ingat, bahwa yang ia nikahi adalah seorang manusia, bukan malaikat.
"Keputusan ada di tangan kamu, Abi hanya berharap kamu bijak dan memutuskan sebaik mungkin." Arifin lantas meninggalkan tempat itu. Dia juga tak mungkin terlalu masuk campur, anaknya sudah menikah, Syifa ada di sana dia tak mungkin memaksa Al untuk menceraikan istri keduanya itu.
"Ra..." Sekali lagi Al memanggil.
"Kalian pulanglah, biarkan Aira tinggal di sini sama Umi."
Bahkan Al terbuang dari keluarganya sendiri. Syifa mengelus bahu Al menenangkan suaminya itu.
"Kamu cinta kan sama aku?"
"Lo pikir keadaan pas buat ngomongin cinta? Lo lebih dewasa Fa, seharusnya lo lebih bijak daripada Aira!"
***
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Guys maaf update pagi pagi begini karena kalau nanti takut nggak ada kuota.
Selamat membaca ya. Jangan lupa vote & comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Khawarizmi dan Humairah
Spiritual[Update setiap hari Rabu dan Sabtu] Al adalah sosok yang sempurna di mata Aira, dia yakin bahwa laki-laki itu imam yang selama ini ia idamkan saat pertama kali mereka bertemu. Sampai akhirnya tanpa sepengetahuan Aira Al menikah dengan sahabatnya se...