'Karena sekuat apa pun kamu marah, hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik untukmu.'
Al-Khawarizmi & Humairah
~Thierogiara
***
Beberapa jiwa yang menumpang di atas tanah, di kolong langit ini memang beberapa kali harus mengalah dengan keadaan. Semesta selalu baik dengan apa yang ia suguhkan, namun lagi-lagi jika semua hal berjalan mulus justru itu namanya bukan hidup, hidup selalu seperti itu, tidak akan pernah mudah. Namun perasaan akan selalu menjadi lebih baik jika dibarengi rasa syukur. Maka hanya itu yang bisa dilakukan oleh Aira juga Al, mereka harus mensyukuri setiap hal, termasuk pertemuan yang selalu singkat.
Baru saja Al kembali, baru saja mereka menetap lagi di rumah, hari ini Al harus kembali terbang demi sebuah pekerjaan. Kalau biasanya Aira yang sulit melepaskannya pergi, kini Al sendiri yang merasa sulit beranjak.
Aira terkekeh, lucu juga melihat suaminya yang sudah berseragam rapi tapi masih sibuk bermanja-manja. "Sebentar lagi jemputan kamu dateng loh," ingatkan Aira.
Al malah semakin menyurukkan wajahnya ke bahu Aira.
"Mas!"
"Seminggu loh," kata Al.
"Udah biasa kan?" Bahkan sekarang Aira bukan hanya harus mengalah dengan pekerjaan Al, tapi juga mengalah dengan perempuan lain.
"Ck, kesel banget kamu terbiasa tanpa aku!"
Aira tertawa. Suara klakson terdengar dari luar.
"Nah tuh udah dijemput," kata Aira.
"Sayang..."
"Yuk aku anterin." Aira menarik Al agar berdiri tegak, dia juga menggeret koper suaminya itu yang kini sepertinya tulangnya pada melunak karena berjalan pun tak tegap seperti biasanya.
Aira menyerahkan koper dan memasangkan topi ke Al di depan pintu. "Semangat gantengku!"
Mendengar itu Al langsung tersenyum. Dia malah semakin berat meninggalkan Aira. Sekali lagi dia memeluk tubuh mungil istrinya itu.
"Semangat kerjanya Bi," pesan Aira.
"Jangan gitu ya Yang!"
"Iya iya ya udah sana!"
Yang terjadi hari ini adalah drama pertama dalam rumah tangga mereka hanya karena Al akan berangkat kerja. Aira melambaikan tangan sampai Al masuk mobil jemputan yang dikirim maskapai setelah itu melepas suaminya dengan senyuman. Pikiran buruknya kembali hadir, apa ada drama yang sama jika Al ingin meninggalkan Syifa? Al sudah mengungkapkan cinta, namun apa semudah itu untuk mengungkap dan menghapus perasaannya untuk perempuan lain?
Aira menggelengkan kepalanya, tangannya mengelus perutnya yang sedikit membuncit, dia tak boleh banyak berpikir yang tidak-tidak. Lagi pula Syifa juga istri Al, mulai sekarang Aira mungkin harus mencatat itu di otaknya, karena kalau tidak dia tersakiti sendiri dengan segala pikiran buruknya.
***
Karena Al tidak di rumah maka hari ini Aira tak perlu memasak, dia bisa makan apa saja, kalau Al lebih menyukai masakannya, maka Aira lebih menyukai masakan asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka. Aira baru selesai makan siang, selepas mencuci piring sepertinya dia ingin bersantai sejenak.
Baru saja kakinya melangkah hendak menuju lantai dua, suara bel terdengar. Aira terdiam sesaat, siapa yang datang? Tidak ada tamu yang pernah datang jika Al tak di rumah, Aira sendiri tak pernah merasa memberitahukan alamat rumah ke orang lain. Ah barangkali keluarga Al, karena kemarin katanya mereka akan sering berkunjung.Sambil memegang perutnya, Aira berjalan menuju pintu, begitu pintu terbuka tampaklah sosok berpenampilan modis. Aira menatapnya sendu.
"Assalamualaikum." Syifa mengucap salam.
"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. Mbak Syifa, Mas Al udah berangkat kerja."
"Aku ke sini mau ketemu kamu kok, boleh kan main? Aku mau nginep di sini, boleh?" Pertanyaan itu penuh kehati-hatian, namun cukup mampu membuat Aira tertegun, memang tidak ada Al, tapi apa suatu saat hal semacam ini akan terjadi. Maksudnya Al, Aira dan Syifa berada di dalam naungan atap yang sama.
Setelah Aira pikir-pikir, mungkin mereka boleh sedikit lebih dekat, suami mereka adalah orang yang sama bukankah lebih baik mereka akur dan berteman baik?
Aira mengangguk. "Silakan Mbak, boleh kok aku juga sendirian di sini, sepi banget kalau Mas Al lagi nggak di rumah."
Syifa menyunggingkan senyumnya. Sebelumnya dia membayangkan mungkin akan ada adegan saling menjambak, namun ternyata apa yang Al katakan benar bahwa hati istrinya seperti bidadari.
Aira membantu Syifa membawa koper masuk ke dalam rumah, dia juga menggiring Syifa menuju kamar tamu yang ada di lantai satu.
"Nggak apa-apa kan Mbak di kamar ini?" tanya Aira. Masalahnya di rumah itu ada empat kamar. Satu menjadi tempat Al dan Aira, satunya kosong, satunya asisten rumah tangga dan satunya tamu. Itu juga kamar tamu sangat seadanya, hanya ada kasur dan lemari kecil. Tidak ada lemari pakaian, karena baik Aira maupun Al sama-sama kurang dalam bersosialisasi, jadi mereka jarang menerima tamu, paling hanya keluarga, itupun sebenarnya belum pernah ada yang menginap.
"Nggak apa-apa kok, ini juga nyaman," ujar Syifa.
Aira tersenyum. "Mau ngeteh?"
"Boleh."
"Aku tunggu di halaman belakang ya Mbak."
Mereka berdua belum pernah mengobrol sebelumnya, jadi mungkin ini adalah waktu yang pas untuk saling mengenal. Aira meminta tolong asisten rumah tangga untuk membuat teh, sementara ia menyiapkan beberapa camilan.
Syifa ikut ke dapur. "Langsung ke belakang aja Mbak," ujar Aira. Setelah Syifa berjalan, Aira menyusul di belakangnya.
"Betah tinggal di sini Ra?" tanya Syifa.
"Alhamdulillah Mbak, suasananya enak, lingkungannya juga enak," jawab Aira, dia ikut duduk di sebelah Syifa, mereka berdua di teras belakang sekarang.
"Dulu Kawa ajak aku buat cari rumah, emang sih ini lingkungannya enak banget."
Aira menipiskan bibirnya, ya wajar saja Al dulu hanya memiliki Syifa sebagai sahabat, sementara Aira masuk ke dalam hidupnya saat Al sudah punya segalanya.
"Pasti seru ya pertemanan kalian?" tanya Aira, membicarakan suami, dengan istri keduanya, lucu sekali.
"Ya gitu, keluarganya Kawa kan lumayan religius, jadi agak susah temenan sama dia, setiap hari harus jaga jarak. Aku mutusin berhijab juga karena keluarganya, malu juga kalau tiap dateng warna rambutnya gonta-ganti."
Aira terkekeh, bahkan Syifa memiliki panggilannya sendiri untuk Al.
"Kawa itu nggak bandel, tapi mauan orangnya, jadi dulu suka ikut-ikutan aku bolos kelas." Syifa lanjut bercerita.
"Baik banget sahabat aku itu, kamu beruntung Ra," ujar Syifa, kini dia yang melempar senyuman ke arah Aira, bahkan jika boleh tukar posisi dengan manusia lain, Syifa ingin menjadi Aira, diperlakukan dengan baik oleh sang suami, juga keluarga mertuanya.
Aira mengangguk, dia bahkan menikah dengan Al ya karena Al memang baik.
"Percaya sama aku, dia adalah imam terbaik buat kamu."
***
Jangan lupa vote & comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Khawarizmi dan Humairah
Spirituelles[Update setiap hari Rabu dan Sabtu] Al adalah sosok yang sempurna di mata Aira, dia yakin bahwa laki-laki itu imam yang selama ini ia idamkan saat pertama kali mereka bertemu. Sampai akhirnya tanpa sepengetahuan Aira Al menikah dengan sahabatnya se...