'Cukuplah luka-lukamu menyakitiku, mari berbahagia, kita telah bersenyawa, bahagiamu adalah bahagiaku.'
Al-Khawarizmi & Humairah
~Thierogiara
***
Bertiga itu luka, maka dengan inisitifnya sebagai suami, sebagai sosok yang memang dituntut untuk tepat dalam mengambil keputusan, Al memutuskan untuk mengantar Syifa pulang hari ini. Dia ingin bersama Aira, menghabiskan waktu bersama, rasanya belakangan mereka sudah jarang sekali menghabiskan waktu yang berkualitas bersama.
Al masuk menyerahkan langsung Syifa pada kedua orang tuanya.
“Kamu sendiri nggak di sini?” tanya papa Syifa.
“Al lagi banyak urusan Pa, Assalamualaikum.”
Menghindari pertanyaan lebih lanjut Al memilih langsung kembali begitu sampai, sebelum benar-benar keluar dari rumah Al mencium punggung tangan kedua orang tua Syifa dan memberikan senyum tipis untuk Syifa.
Syifa melepas kepergian sang suami dengan pandangan sendu, apa memangnya yang ia harapkan? Al bahkan menikahinya karena sebuah keterpaksaan, dia tak bisa mengharapkan menjadi satu-satunya karena bukan Aira, namun dialah yang menyerobot masuk ke kehidupan Al dan Aira.
Setelah bertemu dan mengobrol banyak dengan Aira, Syifa jadi tahu bahwa Al menikah dengan orang yang tepat, Aira sangat baik, wanita itu menebarkan aura positif ke sekitarnya. Syifa jadi malu sendiri selama ini menahan-nahan Al untuk berada di sisinya.
***
“Udah siap-siapnya?” tanya Al, rencananya hari ini mereka akan staycation di sebuah hotel di bilangan Jakarta. Sebenarnya tak ada tujuan khusus, Al hanya ingin menghabiskan waktu bersama Aira. Menurutnya mereka harus sedikit memiliki waktu berkualitas menikmati hal-hal sederhana bersama.
“Kenapa sih Mbak Syifa harus dipulangin?” tanya Aira.
Al menatapnya malas, kenapa harus membawa orang ketiga saat mereka memiliki kesempatan untuk berdua saja?
“Sayang...”
“Kamu nggak sayang ya sama Mbak Syifa, Mas?” tanya Aira menatap Al.
“Udah siap kan?” Al memilih mengalihkan pembicaraan.
“Mas...”
“Sayang, namanya juga sahabatan.” Al akhirnya menjawab pertanyaan tadi, Aira tersenyum mendengar itu. Aneh bukan? Padahal status mereka masih suami istri, entahlah Aira memang unik, apa yang ada di pikirannya selalu tak tertebak. Al mengambil tas Aira lantas membawanya keluar.
Sepeninggal Al, Aira terdiam, entahlah dia hanya merasa bahwa Syifa juga pantas untuk dicintai, mereka sama-sama wanita, Aira ikut sesak memikirkan Syifa yang pada akhirnya ditinggal calon suaminya, lalu harus menikah dengan sahabat sendiri, kemudian fakta lainnya sahabatnya mencintai wanita lain dan sekarang bahkan suaminya akan mendapat anak dari perempuan lain.
Aira bukan tipe orang yang langsung men-judge seseorang, dia cenderung memposisikan diri sebagai orang yang memiliki masalah untuk mengetahui apa masalah sebenarnya. Begitu juga dengan Syifa, dia memposisikan diri sebagai Syifa, walaupun posisi dirinya sendiri juga bukan sesuatu yang nyaman, tetap saja Aira merasa cukup menyesakkan menjadi Syifa. Mereka memiliki porsi masing-masing, maka dari itu Aira tidak ingin egois, Syifa juga berhak atas diri Al.
“Kenapa sih Mas?” tanya Aira.
Al yang semula fokus menyetir mobil menoleh ke arah Aira. “Kenapa emang?”
“Tiba-tiba ngajak staycation?” tanya Aira, rumah mereka cukup nyaman dan Aira memang tak pernah menuntut untuk diajak jalan-jalan.
“Pengen berduaan sama kamu.”
“Bertigaan sama baby.” Aira mengelus perutnya sendiri, Al mengulurkan tangannya untuk melakukan hal yang sama.
“Kamu seneng Ra?” tanya Al.
Aira menatap Al lantas mengangguk, dia melupakan segala bentuk kesedihan ketika dirinya mengenal Al, Al memperkenalkannya pada bahagia yang tak terkira, sekali lagi sampai saat ini Aira selalu merasa bahwa dirinya beruntung menjadi bagian dari hidup Al. Menjadi yang pertama melihat wajahnya ketika bangun tidur, menjadi yang selalu sibuk mempersiapkan keperluannya ketika berangkat kerja, menjadi komponen penting dalam hari-hari yang Al jalani.
Kali ini tangan Al beralih menepuk puncak kepala Aira, laki-laki itu tersenyum lebar, dia adalah anak rumahan yang benar-benar suka menghabiskan waktu di rumah dan keberadaan Aira sebagai rumahnya membuat Al merasa sangat-sangat nyaman.
“Kamu nggak apa-apa kan, kita langsung punya anak?” tanya Al, maksudnya mereka bahkan baru menikah, sebelumnya pun belum saling mengenal, tapi kini malah sudah akan ada anggota baru dalam keluarga mereka.
“Sebenarnya dulu pengennya nikah satu tahun dulu, biar bisa pacaran halal, tapi ternyata Allah lebih tau apa yang ngebuat kita bahagia,” jawab Aira, manusia kan memang hanya bisa berencana, Allah pasti selalu dengan rencana baikNya, Aira tak pernah menyesali apa pun dalam hidupnya, apalagi soal anaknya, kehadiran anaknya adalah perasaan terbaik yang sebelumnya belum pernah Aira rasakan.
“Maaf ya...”“Untuk?” Aira menatap sang suami heran, dia jadi agak takut dengan maaf Al, takut kalau ada lagi yang laki-laki itu sembunyikan darinya.
“Ngehamilin kamu.”
Aira terkekeh. “Apa sih Mas!”
“Ya kan emang iya, seharusnya kita masih bisa pacaran.”
Aira terdiam menatap Al dengan mata sendunya. “Aku bahagia kok Mas, akhirnya kita bisa bersenyawa dan Allah tuh ngasih sesuatu nggak mungkin nggak ada maksud, kayak anak kita mungkin bakal jadi temen aku kalau kamu terbang.”
Benar juga, Al mengangguk-angguk, memang setiap masalah kadang justru tak jadi masalah jika memandangnya dengan cara yang berbeda, ya semuanya tergantung sudut pandang.
“Tapi kamu bahagia kan Ra?” Jujur Al merasa sendiri kalau dia bukan suami yang baik.
“Bahagia banget, sampai nggak tau gimana ngedeskripsiinnya,” ujar Aira, Al adalah bagian terbaik dari perjalanan hidup Aira.
“Aku emang nggak pernah pacaran sebelumnya, bahkan laki-laki yang mencoba dekat saja banyak yang mundur, jadi awalnya sempet mikir maunya pacaran dulu, eh setelah dijalani ternyata hamil juga nggak masalah sih,” jelas Aira, tak henti-hentinya tangannya mengelus perut, Al dan calon anaknya adalah hal paling luar biasa yang pernah Aira miliki. Dia hanya ingin bersyukur sampai matanya sudah tak lagi bisa melihat indahnya dunia.
***
Sampai di hotel Al tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan Aira, dia juga yang membawa tas mereka berdua masuk. Al mengurus semuanya dengan baik, mulai dari chek in sampai menuntun Aira menuju kamar yang akan mereka tempati. Di lorong menuju kamar tiba-tiba Al menghentikan langkahnya.
Dia melepas genggaman tangannya pada tangan Aira setelahnya berbalik untuk memastikan, Aira heran menatapnya, Al sampai berjalan cepat mengikuti seseorang yang baru saja melintas di sebelahnya.
Sayang saat sampai di depan lift orang itu sudah turun ke bawah. Al kembali ke posisi sebelumnya di samping Aira.
“Ada apa?” tanya Aira.
“Kayaknya aku kenal orang yang barusan.”
Dan sepanjang perjalanan mereka menuju kamar Al hanya diam.
“Kenapa sih Mas?” tanya Aira lagi.
Al menggeleng lantas tersenyum. “Bukan apa-apa kok.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Khawarizmi dan Humairah
Spiritual[Update setiap hari Rabu dan Sabtu] Al adalah sosok yang sempurna di mata Aira, dia yakin bahwa laki-laki itu imam yang selama ini ia idamkan saat pertama kali mereka bertemu. Sampai akhirnya tanpa sepengetahuan Aira Al menikah dengan sahabatnya se...