'Kadang mengalah adalah jalan tepat agar semuanya baik-baik saja.'
Al-Khawarizmi & Humairah
~Thierogiara
***
Semuanya aman, damai, tentram, benar bahwa mengenali seseorang itu tak boleh dari cerita orang lain. Ternyata Syifa cukup baik, dia pandai sekali membuat kue tradisional dan selama tinggal bersama mereka menghabiskan waktu dengan membuat kue bersama. Selain itu Syifa juga pandai merajut, dia membuatkan syal untuk anak Aira nanti.
“Boleh aku yang jemput Al?” tanya Syifa.
“Boleh Mbak, aku emang nggak bisa nyetir, kunci mobilnya di gantungan ruang keluarga ya.” Aira berakata santai, dia melanjutkan menonton youtube tutorial merajut, Syifa telah berhasil membuat syal, maka Aira tak boleh kalah.
Syifa ke ruang keluarga mengambil kunci mobil setelah itu kembali ke meja makan. “Aku berangkat dulu ya,” pamitnya.
“Iya hati-hati,” ucap Aira.
Aira adalah anak pancingan, dia hidup dan besar sebagai anak pertama, dia tak memiliki abang maupun kakak. Keberadaan Syifa membuatnya merasa memiliki seseorang yang bisa dianggap kakak, walau sedikit menyakitkan jika diingat-ingat kondisi mereka saat ini.
Selepas kepergian Syifa Aira menghentikan kegiatannya, dia melihat ke luar jendela, Syifa sudah mulai menjalankan mobil. Terdengar helanaan napas dari mulutnya, berarti Al akan pulang satu mobil dengan Syifa, hanya berdua. Entahlah, meski sudah berdamai dengan keberadaan Syifa, tetap sakit membayangkan suaminya berdua dalam ruang yang sama dengan wanita lain. Aira bukan istri-istri nabi, dia hanya wanita akhir zaman yang berusaha berdamai dengan keadaan.
Syifa hanya seminggu, iya, selepas ini dia harus keluar dari rumah itu, Aira tak akan membiarkan mereka terjebak di dalam satu lingkup yang sama, Aira bukan malaikat, dia tetap berperasaan dan untuk menjaga mentalnya sebaiknya jika ada Al, mereka tak perlu bersama.
***
Mereka bertingkah seperti biasanya, Al juga hanya masuk mobil dan Syifa agak mengesampingkan keras kepalanya. Kalau biasanya dia memaksa untuk mencium punggung tangan, kali ini tidak, dia hanya memberikan senyumannya. Sepanjang perjalanan pun hanya diisi dengan obrolan seputar kegiatan Syifa dan Aira seminggu ini.
Sampai di rumah, Al langsung menghampiri Aira, membiarkan istrinya itu mencium punggung tangannya dan setelahnya dia mencium kening Aira, semua itu disaksikan langsung oleh Syifa. Syifa menyadari posisinya, dia paham di tempatnya, jadi ya dia hanya diam.
“Aku bikin kua putu tadi sama Mbak Syifa, mau coba?” Aira menawarkan.
Al mengangguk, masih dengan seragam rapi laki-laki itu mendudukkan diri di kursi meja makan. Aira mengambilkan sepotong menyuapkannya ke mulut Al.
“Gimana?” tanya Aira penasaran, selama ini yang menilai kue tradisional buatannya hanya Syifa dan Mbak yang kerja di rumah, jadi dia sangat penasaran dengan penilaian Al.
Al mengangguk-angguk. “Enak banget!”
“Serius?”
“Iya! Apa kita buka toko kue tradisional aja?” tanya Al, Syifa sudah menyingkir ke kamarnya sendiri. Dia berusaha memahami bahwa Al dan Aira sudah lama tak bertemu, mereka mungkin butuh waktu untuk menikmati kepulangan Al dari pekerjaannya.
“Jangan bercanda.” Al tertawa dan menarik Aira lantas mencium pipi istrinya itu.
“Aku mandi dulu deh.”
Aira mengangguk, Al membawa kopernya menuju ke kamar. Selesai menempatkan kue putunya di tempat yang aman agar tidak dirubung semut, Aira menyusul Al ke kamar untuk menyiapkan pakaian Al.
***
Jiwa iri Syifa meronta-ronta, bagaimana tidak? Al menjadi sosok yang sangat berbeda ketika dia bersama dengan Aira, sangat jauh berbeda sikapnya saat bersama Syifa. Malam ini hujan turun dengan derasnya, Syifa terus berlindung di balik selimut karena merasa takut dengan suara petir.
Dia sebenarnya tak ingin mengganggu Al dan Aira, namun dia benar benar tidak bisa.
Syifa :
‘Kaw aku takut.’
‘Temenin aku, please.’
Al dan Aira tengah bercanda-canda sebelumnya sambil menonton stand up komedi dari ponsel milik Al, sampai pesan itu masuk dan keadaan menjadi canggung. Al melempar ponselnya sembarangan lantas memeluk tubuh Aira. “Kita tidur sekarang,” katanya.
Aira melepaskan tangan Al yang menumpu di atas perutnya.
“Mas...”
“Hmm?” Al tak mau menatap wajah Aira, dia ingin tidur itu saja.
“Mbak Syifa lagi ketakutan,” ujar Aira, dia tidak mungkin egois di saat seperti ini. Dia merindukan Al jujur saja karena mereka baru bertemu setelah seminggu, tapi Syifa membutuhkannya.
“Terus?”
“Kamu temenin ya.” Aira menoleh ke samping untuk melihat wajah Al, namun Al tetap menyembunyikannya di ceruk leher Aira.
“Mas...”
“Aku kangen banget sama kamu.” Al tidak ingin pergi dari sana, dia hanya ingin bersama Aira.
“Tapi Mbak Syifa lagi takut, kamu nggak tau dia takut petir?” tanya Aira. Seharusnya Al lebih tahu karena mereka sudah lama bersahabat.
Al menghela napas. “Bisa berhenti memikirkan orang lain? Kamu juga harus bahagia Ra!” Al baru mengangkat wajahnya sekarang, untuk memastikan wajah istrinya itu.
Aira tersenyum lembut. “Temenin Mbak Syifa ya, aku nggak takut suara petir, lagian di sini ada anak kita.” Dia berusaha memberikan senyum terbaiknya, ini bukan perkara mudah, tapi Aira benar-benar dituntut untuk dewasa.
“Mas, dia juga istri kamu.”
Al menghela napas lantas mengangguk. “Panggil aku kalau ada apa-apa.” Al mencium kening Aira lalu bangkit dari kasur. Sebelum benar-benar keluar dari kamar Al menghentikan langkahnya di depan pintu.
Aira masih dengan senyum terbaiknya, sekali lagi perempuan itu mengangguk sebagai sebuah persetujuan Al boleh menemani Syifa. Al keluar, pintu tertutup. Suasana hatinya seketika berubah.
Bunyi hujan, suara guntur yang bergemuruh dan petir yang menyambar-nyambar seolah menjadi pendukung untuk Aira bersedih malam ini. Ini semua menyakitkan dan tak pernah ada dalam bayangannya sebelumnya. Air matanya langsung bercucuran, perlahan tubuhnya meringkuk berusaha untuk memeluk diri sendiri.
Wanita adalah pembohong besar, ketika menjadi istri dia menutup segala luka dari sang suami, ketika menjadi ibu dia selalu menunjukkan bahwa dia baik-baik saja di depan anak-anaknya. Bahkan dia mampu menipu dunia, tersenyum pada semua orang dan membiarkan segalanya tampak biasa saja.
Aira tak pernah benar-benar sekuat itu, segala fakta yang ada tentu menyakitinya. Berdua mereka bahagia, bertiga akan selalu ada satu hati yang menjadi korban.
Derasnya hujan seperti perantara bagi Aira mengekspresikan kesedihannya. Hujan dan segala sesuatu yang menjadi pengiringnya, malam ini menjadi saksi, luka hati seorang istri yang berusaha ikhlas merelakan suaminya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Khawarizmi dan Humairah
Espiritual[Update setiap hari Rabu dan Sabtu] Al adalah sosok yang sempurna di mata Aira, dia yakin bahwa laki-laki itu imam yang selama ini ia idamkan saat pertama kali mereka bertemu. Sampai akhirnya tanpa sepengetahuan Aira Al menikah dengan sahabatnya se...