17. BUNGA TULIP

407 68 14
                                    

Sejak hari di mana Gaby dengan begitu tega membiarkan Gibran berjibaku dengan rasa sakit akibat kehabisan stok obat, hubungan antara Gaby dan Gibran semakin renggang.

Ke duanya memang tinggal dalam satu atap namun seperti orang yang tidak saling kenal.

Gaby dengan segala ego dan gengsinya yang lebih memilih diam dari pada meminta maaf atas kesalahannya, sementara Gibran yang memang sudah tak lagi perduli apapun mengenai Gaby.

Kekecewaannya pada Gaby sudah mencapai titik klimaks dan Gibran tak ingin hal itu justru membuat kondisi kesehatannya menjadi down, itulah sebabnya lelaki itu lebih memilih untuk diam.

"Hari ini gue mau ke Bandung, Rayyan baru balik dari London, gue mau nengok dia sekalian ziarah ke makam Mamah," beritahu Gibran saat dirinya kini sarapan bersama Gaby di meja makan.

Dengan sangat terpaksa Gibran memulai percakapan lebih dulu karena minggu lalu saat dirinya mampir ke kediaman orang tuanya di Bandung seorang diri, Gibran harus berbohong perihal alasan mengapa Gaby tidak ikut. Kali ini, semua keluarga besar sang Ayah dan Sang Ibu pasti berkumpul di kediaman Om Reyhan karena anak Om Reyhan yang bernama Rayyan baru saja kembali dari London untuk menjalani pengobatan medis.

Kini, keluarga Om dan Tante Gibran itu sudah bisa berkumpul seperti dulu lagi. Pastinya mereka akan mengadakan acara kumpul keluarga untuk merayakan kesembuhan Rayyan.

Dan menjadi sangat tidak mungkin jika Gibran harus kembali muncul seorang diri di tengah-tengah acara besar keluarga itu. Gibran jelas tak ingin salah satu di antara keluarganya menjadi curiga. Itulah sebabnya Gibran menyampaikan niatnya itu dengan harapan Gaby bersedia ikut dengannya. Walau sebenarnya Gibran sendiri tidak akan memaksa jika wanita itu memang tidak mau.

"Rayyan anaknya Om Reyhan yang koma hampir sepuluh tahun itu?" balas Gaby memastikan.

Gibran mengangguk.

"Wah, mukjizat ya dia bisa hidup lagi," seru Gaby takjub. Sebab dari secuil berita yang Gaby ketahui tentang Rayyan, kemungkinannya sangat kecil remaja itu bisa kembali hidup normal layaknya manusia kebanyakan, setelah dia mengalami koma berpuluh-puluh tahun lamanya akibat kecelakaan.

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini kalau Allah sudah berkehendak," balas Gibran acuh tak acuh. Dia terus melanjutkan santapannya.

"Ya itulah hebatnya takdir, siapa yang akan menebak kalau ternyata Rayyan bisa sembuh?"

Gibran hanya mencebik. Entah kenapa, Gibran muak mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Gaby.

Bisa-bisanya wanita itu mengatakan tentang kehebatan takdir di saat dia telah memutus harapan Gibran akan kehebatan takdir itu sendiri.

"Gue sih memang udah menebak sejak jauh-jauh hari kalau Rayyan pasti kembali. Dan semua itu terjadi berkat doa orang-orang yang memang menyayangi Rayyan. Sama halnya seperti dulu sewaktu almarhumah nyokap gue yang selalu berusaha sekuat tenaga demi gue. Demi kesembuhan gue..." Suara Gibran terdengar penuh penekanan. Lelaki itu menatap lurus-lurus wajah Gaby yang salah tingkah dalam sekejap.

Sindirannya berhasil!

Saat itu Gaby tidak berkomentar namun dia langsung menyudahi acara sarapannya.

"Jam berapa berangkat?" tanya Gaby sebelum hengkang dari meja makan.

Gibran tidak menjawab karena merasa kesal.

"Heh, gue tanya jam berapa lo berangkat ke Bandungnya?" ulang Gaby dengan suara yang meninggi.

Gibran menoleh dan menghentikan sejenak sarapannya. "Lo nggak liat gue udah rapi? Habis sarapan juga gue mau langsung berangkat!" jawab Gibran sama emosi.

"Tungguin gue!" potong Gaby cepat yang langsung menaiki tangga hendak menuju kamarnya.

Sementara Gibran jadi memulas senyum miring begitu Gaby menghilang dari pandangannya.

Baguslah kalau dia sadar! Jadi gue nggak perlu susah payah ajak dia ikut! Males banget!

Gumam Gibran dalam hati.

*****

Hari itu, Gibran dan Gaby berangkat ke Bandung bersama.

Kebisuan meraja di sepanjang perjalanan mereka menuju Bandung. Hanya suara musik yang terdengar mengalun dari audio sistem di dalam mobil yang memecah kesunyian di antara Gibran dan Gaby saat itu.

Sebelum pergi ke kediaman Om dan Tante Gibran untuk menjenguk Rayyan, Gibran memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke makam Luwi, sang Ibunda tercintanya.

Sebuah buket bunga tulip yang tergeletak di atas pusara sang Ibunda jelas menarik perhatian Gibran saat itu.

Bunga itu tampak masih segar dan sangat wangi. Itu artinya, sebelum kedatangannya ke sini, pasti ada anggota keluarganya yang lain yang menengok makam Luwi dan menaruh buket bunga Tulip yang memang merupakan bunga kesukaan mendiang Ibunya semasa beliau hidup.

Melalui bunga inilah, dulu Tuhan pada akhirnya mempertemukan Gibran dengan Ayah kandungnya sendiri yang selalu dia cari-cari keberadaannya.

Pasti Papah yang telah menaruh bunga tulip ini di sini...

Pikir Gibran saat itu.

Hingga pada saat malam hari tiba, tepatnya ketika Gibran mengkonfirmasi mengenai keberadaan bunga tulip itu pada sang Papah dan anggota keluarganya yang lain, anehnya tak ada satu pun anggota keluarganya yang mengakui bahwa bunga tulip di makam Ibunda adalah pemberian mereka.

"Terakhir Papah ziarah ke makam ibumu, itu sudah dua minggu lewat, Gibran,"

Itulah ucapan sang Papah yang juga diikuti dengan jawaban-jawaban lain dari keluarganya yang memang tidak tahu menahu tentang keberadaan bunga tulip itu.

Hal ini jelas menjadi tanda tanya besar dalam benak Gibran.

Jika memang bukan anggota keluarganya yang menaruh bunga tulip itu di makan sang Ibunda, lantas siapa?

Pikir Gibran membatin.

Dia benar-benar bingung.

*****

Hayo, siapa ya kira-kira yang menaruh bunga itu?

Kuy vote dan komen...

Salam herofah...

THE DEVIL WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang