17

11.8K 964 13
                                    

Aku masih memegang jantungku yang berdetak kencang. Wajahku memerah menjalar hingga ujung telingaku.

"Ningrum kenapa Konan teriak kesurupan tadi?"
Aku menatap bingung mama yang berlarian sambil memegang sutel.

"Eh?"

Aku masih bingung dengan situasi saat ini.

"Anak itu, pagi-pagi sudah ribut nggak jelas. Ningrum kamu duduk aja. Nggak boleh cape lagi hamil."

Aku tersenyum canggung. Mama mantu sebaik ini.
Sebenarnya aku nggak enak, Renata yang hamil saja masak. Kenapa aku harus jadi ratu. Aku melangkahkan kaki kecilku menuju pantri dapur.

"Mama nggak nyangka semua terjadi sama kamu."

Aku berhenti melangkah, aku melihat tiga orang itu sibuk memasak. Sedangkan pembantu yang lain sibuk beres-beres rumah. Mama lebih suka hidup memasak untuk keluarga.

"Aku kecewa Tuhan mempermainkan takdirku ma." Ujar Renata dengan suara bergetar sedih.

"Setahun yang lalu mama sangat senang kamu jadi tunangan Saga."

Aku meremas dadaku. Aku melangkah pergi dari sana. Rasanya dadaku seperti tahu ramas.

Jadi Renata dulu adalah tunangan Mas Saga. Pantas saja mama terlihat begitu menyanyangi mbak Renata. Orang-orang di rumah ini sangat menyukai Renata. Berbeda dengan aku yang terasa kaku ketika berada ditengah-tengah mereka.

Aku melangkah keluar ke taman. Aku hanya ingin menangis, entahlah aku tidak paham, tapi dadaku terasa sesak. Aku hanya ingin menangis.
Benar kata mas Saga, aku menetapkan hatiku, kami memang harus bercerai setelah anak ini lahir. Aku nggak boleh egois memaksa untuk mempertahankan rumah tangga ini.
Aku mengelus perutku yang mulai menonjol sedikit.

'Maafin mama dek. Jika nanti kalian lahir, kalian nggak bisa rasain gimana  punya keluarga lengkap.'

Aku menghapus air mataku perlahan. Aku nggak boleh nangis, selama ini aku periksa sendirian ditemani supir. Aku harus ikut saran dokter untuk tidak boleh stres.

"Mami Ningrum. Dipanggilin mama, mau sarapan pagi."

Aku cepat-cepat menghapus air mataku, menormalkan wajahku agar terlihat normal. Aku harus bisa tetap berdiri tegap, walau sendirian. Dari awal aku memang sendirian.

Aku mengandeng tangan Grilen, walau wajahnya datar sajah, tapi Grilen tidak menolak sama sekali. Grilen anak yang kuat, mamanya keluar kota, yang aku tahu papanya punya istri lain, tepatnya mereka bercerai. Hububungan yang lebih rumit.

Aku memilih duduk jauh dari Saga dan Renata tepatnya di samping Grilen, terlalu ujung untuk menjadi pusat perhatian.

Aku memilih menyendok nasi untuk Grilen, mengabaikan tatapan mata mas Saga dari seberang sana.

"Ga, entar bisa anterin aku cek up kandungan? Aku masih asing."

Aku hanya mendengar saja. Kebetulan hari ini juga jadwal cek up, tapi jam 11 nanti.

"Jam berapa?"  Tanya Mas Saga masih mengusah makannya.

"Jam 9."

"Iya deh."

Aku tersenyum miris. Aku mengelus perutku. Selama ini dia tidak pernah menemaniku cek up. Padahal ini anaknya.
Wajahku mengeras datar, segitunya pria itu tidak menginginkan anak ini, bahkan dia tidak tahu kalau anak ini kembar.

"Loh bukannya hari ini Ningrum juga jadwal cek up ya?"

Aku melihat mas Saga yang tampak kaget.
Benarkan dia bahkan tidak ingat, ah bukan tapi tidak mau tahu.

"Kalian bareng aja." Usul mama.

"Nggak ma, kita beda jadwal. Lagian aku pengen ke suatu tempat dulu."

"Kemana?" Tanya mas Saga cepat.

"Rumah teman."
Benar semalam aku mendapat pesan dari teman smp aku yang kost di Jakarta, katanya dia kuliah sambil kerja.

"Emang kamu punya teman?"

Aku hanya menatapnya datar, aku lihat wajahnya menatapku tajam.
Aku memilih makan dengan tenang. Walau kami duduk berjauhan tetap sajah aku bisa lihat iris matanya yang begitu tajam menatapku.

*

Aku baru saja membuka pintu, tapi dengan kuat mas Saga ikut masuk, hampir sajah aku terjatuh jika mas Saga tidak cepat menarikku.

"Teman yang mana?"

Aku menatapnya datar.

"Bukan urusan mas." Aku melepaskan tanganya.

Aku melihat mas Saga tersenyum sinis .

"Jangan salah paham, saya nanya karena takut anak saya kenapa- kenapa."

Aku ingin berteriak padanya. Kalau anggap anak ini kenapa tidak pernah antar aku cek up. Alasan sibuk.  Tapi waktu Renata yang minta dia langsung iyain. Dia kira aku nggak kecewa dengan sikapnya. Belum lagi setelah hamil aku mudah cengeng.

"Terserah kamu. Tapi jika sesuatu yang buruk terjadi sama anak itu. Kamu akan tahu akibatnya."

Aku membuang nafas kasar.
Mau apa dia sebenarnya. Sangat menyebalkan.
Aku membuang nafas berkali-kali, aku nggak boleh pikiran.

Istri Ndeso Sang Dokter [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang