20

13.4K 1K 11
                                    

Hay, up yah.

Please vote and commentnya yah.😘

"Ning umur-umur saya diteriaki cewek."

Aku tahu itu suara mas Saga. Masih berani dia nampakain wajahnya. Aku masih menelungkupkan wajahku di lutut. Aku cuma gadis desa yang selalu bikin kesalahan. Aku banyak ah bukan sangat banyak kekurangan.

"Ning, maafkan saya."

Aku terisak pelan, dan makin kencang. Entah kenapa mendengar kata maaf dari mas Saga membuat hatiku terasa sakit pengen nangis kencang. Pundakku bergetar dengan isak tangis.

Handuk tebal diselimuti dikedua bahuku.
Perlahan mas Saga mengangkat tubuhku. Aku hanya diam mengalungkan tanganku di leher mas Saga. Menyembunyikan wajahku yang sembab, aku masih terisak pelan.
Pernikahan seperti apa yang kami jalankan ini. Hanya ada pertengkaran disetiap menit.

Aku memilih berbaring menutupi seluruh tubuhku setelah ganti pakaian. Aku malu pada semua orang di rumah ini. Mereka pasti melihat betapa menyedihkan aku.

"Ning, ayok maka dulu."

Aku hanya diam. Aku tidak ingin berbicara satu katapun.

"Ning, kasihan anak kita."

"Nggak usah sebutin anak kita. Ini anak Nining."

"Saya rasa kamu tahu tentang reproduksi, walau tamatan SMP itu pelajaran Biologi. Kalau nggak ada sel sperma saya kamu nggak bisa hamil."

Aku mendengus kesal didalam selimut.

"Kalau mas Tahu, kenapa harus sia-siain anak mas, memilih nganterin perempuan lain, pakai senyum bahagia lagi." Sembur ku kesal.

"Loh Ning, bukannya kamu bilangnya pengen ke tempat teman, kok salahanin saya?"

Aku bangun membuka selimut kesal, menatap tajam ke arah mas Saga.

"Sebelum-sebelumnya. Mas Saga emang nggak ada niatin mau anterin aku kan? Giliran sih Renata-Renata itu langsung capcus, go."

"Ning, bahasa kamu makin gaul ya belajar darimana?"
Aku melemparkan bantal ke wajah mas Saga. Tapi segera ditangkap dengan cepat.
Sekian kalimat panjang yang aku ucapkan, si tua bangkotan ini haya  menangkap kalimat terakhir.

Aku memilih kembali berbaring dan menutupi wajahku dengan selimut.

*

"Ya udah makan dulu. Setidaknya untuk bayi kita."

Gue membuang nafas kasar. Membujuk Ningrum adalah salah satu hal tersulit. Gini nih handayana kalau nikah sama remaja menuju dewasa.

"nggak usah sok peduli sama Ningrum dan anak ini. Sana ke Renata aja."

Aku membuang nafas kasar.

"Kamu cemburu?"

Dua kata itu membuat Ningrum melepaskan selimut yang membungkusnya seperti kepompong.

"Nggak usah ngadi-ngadi. Cemburupun aku tak berhak. Kita cuma dua orang asing yang tinggal seatap."

Gue hampir tertawa. Gimana ya, Ningrum emang bikin kesal. Tapi ekspresi mukanya itu loh pengen ngakak. Sekilas mirip Natrium.

"Ya sudah. Ayok makan."

Gue ngalah. Dari pada ribut terus panjang jadinya.
Gue lihat Ningrum makan dengan lahapnya,  sama sekali nggak mau lirik gue. Wajah polosnya terlihat tenang. Gue menatap baju ningrum. Piyama hitam polos. Gue jarang lihat Ningrum make up.

Gue memilih mengambil laptop dan mengerjakan pekerjaan gue.
Hingga suara handphone berbunyi.
Bukan punya gue.

Gue melirik Ningrum yang segera mengambil handphonenya.
Gue nggak nyangka dizaman modern kayak gini, seoarang istri Saga Maradewa handphonenya kayak gitu.
Apa kata orang nanti.

"Hallo mas Hiro."

Gue memasang telinga ketika Ningrum dengan lembutnya menyebut Hiro.

"Baik mas."

"Nggak sibuk kok mas."

"Dufan?"

"Hallo, istri saya sibuk. Ini waktunya tidur, kamu jangan telponan sama istri orang sembarangan."

Gue mematikan telpon itu. Handphone jadul warna hitam dengan tombol hampir hilang. Gue menatap Ningrum yang misu-misu nggak jelas.

"Masih zaman yah handphone kayak gini?"

Ningrum menatap gue sinis.

"Intinya bersyukur."
Gue tertegun. Sesederhana itu.

"Ganti, ganti hp kamu. Jangan bikin saya malu."

"Nggak perlu."

Gue terkejut ketika Ningrum menarik handphonenya.

"Nggak perlu. Mau jadul kek, jelek kek apa kek. Ini hp Ningrum. Ningrum nggak butuh dibeli sama mas. Ningrum bisa beli sendiri."

"NINGRUM. JANGAN BERANI MELAWAN SAYA."

Gue mengambil handphone usangnya, lalu pergi begitu saja menghiraukan teriakkan Ningrum yang kayak drum rusak ketika dipukul.

Hanya Ningrum perempuan keras kepala, bahkan kekerasan kepalanya melebihi Natrium.

"Hallo Bams. Beliin gue handphone keluaran baru yang paling mahal. Gue tunggu tiga puluh menit."

Tiit.

Tampa babibu gue langsung matiin, gue emang kayak gitu kalau sama asisten pribadi gue di kantor papa.
Gue membuang kartu dan handphone Ningrum di tempat sampah.
Mau dia teriakin gue sampai suara habis. Selama ini gue nggak pernah perhatiin hpnya, tapi melihat betapa ironisnya apalagi selama ini ada keluarga gue.

Shit, sungguh memalukan.

*
Aku menyumpah serapahi mas Saga. Bukan hanya hp aku yang dia ambil, pintu kamarpun dia kunci.

"MAS SAGA BUKAAA PINTUNYA. NINGRUM BUKAN NARAPIDANA."

Aku mundur sedikit ketika gagang pintu mulai berputar.

"Kamu lagi hamil nggak baik teriak-teriak."

Aku menahan emosiku. Hidung ku kembang kempis menahan kesal.

"Mas kira aku tahanan apa?"

"Terserah kamu Ning. Nih handphone barunya."

Aku mengerjap, handphone baru.

"Ini bukan hp-nya Ningrum."

Aku berdiri dihadapannya dan menunjukkan hp baru itu tidak suka.

"Udah Saya buang."

"APAAAAAAA?"

Pekikku kencang. Pria tua ini benar-benar egois dan menyebalkan.

"Lalu kartunya?"

Aku menatapnya tajam.

"Hp dan isinya aku buang."

"APAAAAAAAAAA?" Teriakku histeris.

"Kembaliin Nining nggak mau tahu. Didalamnya ada nomor penting."

Aku menarik rambutku frustasi. Masalahnya aku nggak hafal nomor ibuku.

"Dimana mas Saga buangnya?"

Aku bergegas lari tampa menunggu jawabannya.
Harta berharga sudah dia ambil, hp jadulnya adalah harta terakhir karena berisi nomor ibunya.

"NINGRUM PELAN-PELAN."

Aku tidak peduli dengan cepat aku menuruni tangga.

Aku mengais sampah di depan rumah. Kenapa kosong.

"STOP NINGRUM."

Aku menatap mas Saga yang menatapku tajam. Rahangnya jatuh, wajahnya memerah menahan emosi.

"Nomor penting punya Hiro hah?"

"PUNYA IBUKU MAS. PUNYA IBUKU."

Aku berteriak kencang, menumpahkan emosiku.

Mas Saga melepaskan tanganku, wajahnya berubah jadi terkejut.

Sedangkan aku mengambil bajunya dan melap ingusku yang meler.
Bodo amat, bahkan bajunya nggak bisa ngembaliin nomor ibuku.

Istri Ndeso Sang Dokter [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang