Selamat Hari Raya Idul fitri untuk yang merayakan😇🤗
Jangan lupa vote & commentnya yah bun😘
"Cuci tangan dulu sebelum makan."
Aku menatap mas Saga yang mengomeli setiap pergerakkanku. Nggak boleh ini, nggak boleh gitu. Jangan ribut dan teriak nanti. Nggak boleh kena debu, cuci tangan sebelum makan. Duh gini nih kalau nikah sama dokter. Kotor dikit aja langsung diomelin. Aku kayak anak kecil yang diteguri ayahnya.
"Lihat tulangnya nanti keselek."
Nah kan. Kok mas Saga makin bawel sih?
Aku pengen protes tapi nggak dikasih kesempatan ngomong.
Baru mau buka mulut, tutup lagi, segitu terus sampai aku gondok.Baru mau buka mulut dikasih lele. Baru nelan mau ngomong dikasih nasi.
Setelah aku ngambek mas Saga akhirnya sadar diri untuk temani aku makan dari pada antarin Renata. Renata berakhir ditemani mas Konan. Yah seharusnya seperti itu kan.
Aku senang dong. Tapi kalimat berikutnya bikin aku kesal.'Saya ngelakuiin ini demi anak saya biar nggak ileran.'
Nggak masalah dari pada dia sama Renata. Nempel mulu kayak perangko.
Entahlah aku mulai merasakan ngidam yang aneh-aneh akhir ini."Aku mau yang pedas banget."
Setelah sekian lama aku nggak dikasih harapan ngomong, akhirnya ngomong juga.
Mas Saga menatapku datar.
"Nggak boleh kepedasan, nanti kamu sakit perut dan bisa juga lambung."
Aku mendesah, gini nih kalau punya suami dokter, padahal dia tahu aku ngidam. Kalau nggak pedas makanan terasa hambar dilidahku.
"Nanti anak aku ileran gimana?"
"Anak kita Ning."
"Sejak kapan mas Saga bisa mengandung?"
Aku melirik perutnya.
*
Gue menatap datar tatapan mata Ningrum pada perut gue. Kadang dia pintar kadang o'on juga.
"Kamu pernah belajar materi reproduksikan?"
Gue nggak perlu jabarkan secara rincikan. Rumah makan ini bakal jadi sekolah dadakan kalau ngomong sama Ningrum.
"Iya Ningrum paham, mas cuma sumbangin toge mas kan."
Gue melotot padanya.
Sedangkan beberapa pelanggan yang tidak jauh dari tempat duduk kami, berbisik dan terkikik melihat kami.Sebenarnya kami makan dirumah makan yang duduknya kita di karpet. Gimana yah, sedari dulu mama sama papa selalu ngajarin hidup sederhana.
Walau kadang mewah juga, tapi makanan di restoran biasa nggak kalah enak kok. Malah ada yang lebih enak. Tinggal gimana menatanya aja.
Namanya juga dunia bisnis,pasti masing-masing dengan idenya.
Dimana ada Ningrum disitu gue nggak bisa nahan diri buat balas debat dan parahnya bisa bikin gue malu sendiri. Sekarang dia samain sperma gue dengan togeh."Nanti bulan depan saya temani kamu cek up."
"Benar ya, janji. Janji yah mas. Ora bisa nolak (tidak boleh ingkar)?"
Gue sedikit risih dengan tingkah Ningrum yang kelewatan ngomongnya sampai nunjukkin gue dengan sendok. Untung nggak muncrat."Iya saya janji."
Walau gue nggak ngerti, tapi gue tahu karena Ningrum bilang janji.
Wajah Ningrum begitu bahagia. Hanya karena gue bilang temani cek up.
Ningrum punya banyak kejutan. Gue terus nebak isi pikirannya, tapi selalu salah. Mungkin remaja menuju kedewasaan makanya sifatnya masih labil.*
Aku begitu senang, rasanya semua kekesalanku dari kemarin-kemarin menguap begitu saja, hanya karena mas Saga menawarkan diri untuk menemaniku cek up. Aku yakin ini adalah langkah awal yang bagus untuk hubungan kami.
Hari ini aku memakai gaun kuning denga kancing didepannya, rambutnya ku kepang samping.Aku melangkah beriringan dengan mas Saga, bukan hanya tinggi badan kami yang jauh. Kulit sawo matangku juga begitu berbeda dengan mas Saga.
Mereka semua ikut gennya papa Sean. Kalau mama kulitnya nggak jauh beda sama aku.Kami benar-benar ke Ancol. Setelah makan aku merengek pengen ke wahana yang hanya bisa aku tonton di TV.
Biarin aku norak, aku senang banget sampai teriak-teriak.
Aku menganga melihat seperti jalan rel kereta api.*
"Mas ada kereta api buatan disini?"
Pekik Ningrum heboh.
Mungkin karena adah terbiasa dengan kenorakkan Ningrum, gue nggak terlalu peduli dengan tatapan sekitar.Gue hanya melipat tangan ke dada menatap kereta yang dimaksud Ningrum.
Astaga maksudnya naik rollercoasterApa dia nggak tahu kalau ada yang sampai teriak histeris sampe nangis-nangis dan berujung muntah dan pusing karena naik dufan. Kalau yang terbiasa pasti nggak. Tapi gimana kalau Ningrum yang naik, bisa gawat muntah dia nanti. Naik mobil gue aja awalnya muntah.
Gue melihat tingkah Ningrum yang kelewatan polos. Dengan gaun kuning kebesaran menutupi perutnya yang sudah sedikit menonjol, tidak kelihatan perutnya. Rambut panjangnya dikepang samping. Pundaknya terbuka.
Gue mendengus tak suka. Siapa yang beliin dia baju model kayak gini. Seingat gue Ningrum selalu bergaul dengan Azalea. Adik iparnya itu pasti yang mengajar istri kecilnya ini berpakaian sampe berbicara. Gue mengerutkan kening, sejak kapan gue akuin dia istri?Gue mengikuti kemana kaki Ningrum melangkah. Jujur gue kayak bapak-bapak yang ngikutin anaknya ke tempat hiburan kayak gini.
Hampir sejam gue dan Ningrum di sini. Kebetulan gue libur pekerjaan.
Nggak kerasa waktu berjalan dengan cepat. Gue sedikit khawatir dengan Ningrum karena dia lagi hamil.Gue menatap Ningrum yang meremas pahanya. Apa kakinya keakitan. Tentu saja Ningrum yang paling semangat menaiki wahana di sini. Walau gue larang, tapi keras kepala sampai nangis ditengah orang banyak. Semakin pintar sejak hamil, bisa bikin gue ngalah. Padahal gue orang yang keras kepala.
Gue berjongkok di depanya."Mau ngapain mas?"
"Mungut uang Ning." Jawab gue asal.
"Ayok naik, kamu jangan sampai kecapean. Udah aku bilang sedari tadi."
Ningrum hanya diam.
Kami tiba dipasar seni. Payung-payung diatas bergantung indah. Pasar seni sepertinya akan tutup."Wah bagus banget."
Gue mendengar bisikkan pelan dari Ningrum.
Nggak apa-apa, gue lukisin kenangan sama Ningrum di sini, biar nanti cerai gue nggak dicap buruk terus sama dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Ndeso Sang Dokter [End]
عاطفية"Mas Gagak, nyalain kompornya gimana toh iki?" "Mas Gagak, opo toh iki?" Saga menatap jengah perempuan muda tapi o'on ini. Punya istri ndeso kayak gini. Ini kisah tentang dua manusia beda umur, dengan segala perbedaan. Dari perbedaan ini lah kisah m...