13

12K 959 2
                                    

Gue menatap kepergian Ningrum dengan muak. Jujur gue nggak suka sama cewek kayak Ningrum. Seratus persen bukan tipe gue banget.

Hanya ada dua wanita yang bisa mencuri hati gue. Yang pertama Natrium cinta pertama gue yang sialnya adalah istri sepupu gue sendiri Khlor.
Dan wanita kedua yang setahun ini pengen gue lupain. Renata cewek yang mampu buat gue patah hati, gadis yang menyebabkan gue setahun terakhir ini banyak mabuk-mabukan di bar.

Gue melangkah mengikuti Ningrum.
Gue lihat Ningrum menuju kamar.
Masa bodoh dengan mereka yang ngelihat tingkah gue.

*
Sudah dua hari Ningrum acuhin gue. Gila ni cewek makin bikin gue kesal.
Gue bolak-balik menatap layar handphone.
Ningrum benar-benar tidak mengirimnya pesan. Mungkin dia sudah tahu benda-benda yang tidak ia tahu sebelumnya.

Satu getaran dari handphone membuat gue segera memeriksa pesan itu.

Renata
Ga, gue butuh lo.

*

Aku menatap anaknya mbak Leandra anak bungsu keluarga ini sedang mendengar musik diheadsetnya sambil menutup matanya.
Apa dihandphone itu ada musik juga.
Wah aku benar-benar ingin tahu.
Musik apa yang ia dengar.
Astaga bocah kecil sajah punya handphone yang bagus, apalah aku yang jadul hampir gak layak lagi pakai. Sekilas aku teringat perkataan mas Konan, suami tajir minta ajah. Aku segera menepis pemikiranku yang aneh, nggak aku masih nggambek dan nggak sudi dibeliin pria kasar kayak dia. Aku merutuk sifat pria bangkotan itu.

"Bunda Ning kenapa?"

Aku terkesiap menatap Grilen yang juga menatapku aneh.
Aku hanya menyengir lebar, segera duduk di sampingnya.

"Apa bunda boleh, mendengar lagu itu?"

Aku menatapnya memohon, kedua mataku kubuat memohon penuh kasihan.

Lendra hanya mengangguk pelan dengan wajah datarnya. Aku memegang dadaku, apa keponakan mas Saga ini punya kelainan. Sejak masuk rumah ini, aku tahu mereka memang punya sikap seperti itu, tapi nyatanya setelah kenal mereka terasa cerewet.

Aku memasukkan headset itu ketelingaku, sama seperti yang dilakukan Leandra.
Jujur aku tahu itu, tapi tidak pernah memilikinya. Aku hanya fokus pada pekerjaan di ladang membantu bunda. Lagu bahasa inggris toh.

Aku larut dalam pikiranku. Anak-anak kota memang beda dengan anak pedesaan seperti mereka.
Walau zaman semakin berkembang, tapi tetap sajah aku yang anak desa merasa tertinggal. Walau waktu merubah segalanya, kami tetap sama. Tetap fokus mencari sesuap nasi. Aku menunduk dalam, sudah lama aku tidak menelpon ibuku. Gaji pertama yang benar sajah. Gaji pertama apanya yang ia janjikan untuk ibunya.
Rasa bersalah itu masuk kedalam dadaku. Seandainya malam itu tidak terjadi aku pasti sudah mendapat gaji keduaku bahkan.

*

Aku menatap meja makan yang hening.
Aku menatap perempuan cantik, cantik sekali duduk di samping mas Saga, sedangkan aku duduk di hadapan mas Saga. Dia perempuan yang mirip di dalam mimpiku walau kabur-kabur. Aku mengingatnya.

"Mas mau lauk apa?"

Aku menganga. Hei, aku di sini istrinya. Dan apa yang terjadi, mas Saga malah menunjuk ayam goreng, dan lauk pauk lainnya.

Aku membuang nafasku. Masa bodoh, toh ini cuma pernikahan akibat kejadian satu malam.

Aku memasukkan makananku ke mulut, masa bodoh dengan mereka yang mirip suami istri.

Aku bisa merasakan mbak Azalea yang menyenggol lenganku pelan. Aku menatap mbak Azalea yang mengodekan matanya kearah dua pasang manusia yang saling tersenyum di seberang meja.

Mataku dan mata wanita itu bertemu.

"Ah, Renata kenalkan dia istri Saga."
Itu suara mama.

"Oh yah. Ga, kamu nggak ngasih tahu aku kalau udah nikah."

Aku balik menatap mas Saga. Aku pengen jawab, ya iyalah toh mas Saga nikah sama aku terpaksa.

"Nanti aku cerita."

Aku pengen muntah. Kalau ngomong sama aku kasar banget, tapi sama ini cewek yang namanya Renata selembut pantat bayi.

Aku masa bodoh, makan terus.

"Ga, aku pengen sate ayam."

Aku menatap curiga kearah mereka beedua.

"Makanan di sini kurang enak yah?" tanya mama merasa tidak enak.

"Maaf ma, Renata bukan bermaksud mnyinggung. Hanya bawaan bayi."

Aku tersedak daging. Hamil, anak siapa jangan bilang anak mas Saga.

"Oh, yah . Kamu hamil?"

Bukan sajah aku yang kaget, ternyata mama jauh lebih heboh.

"Bukannya mbak Renata udah nikahkan?"

Sedetik berikutnya aku membuang nafas pelan. Syukurlah, aku tidak ingin di madu. Dan nggak bakal mau.

"Kami sudah bercerai."

Aku keselek ludahku. Bercerai disaat hamil.
Aku menatap Renata yang tersenyum kecil. Apa dia tidak stres. Kalau aku mungkin gila.

"Ma, Renata nggak punya siapa-siapa di sini. Biarin dia tinggal sama kita yah."

Dadaku terasa sakit. Mas Saga begitu lembut pada Renata.
Ah, tentu sajah Renata sangat cantik seperti bebie. Duh apalah dayaku sebutir debu.


Istri Ndeso Sang Dokter [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang