25

12.6K 1K 19
                                    

Aku masih asik dengan selang air ditanganku. Bunga-bunga milik mama terasa menyegarkan mata.
Aku bersenandung kecil. Lagu dari darama descendant of the sun. Aku baru direkomendasiin darama tentang tentara dan dokter dari mbak Azalea. Duh, aku berhayal tinggi. Baru sajah episode satu tapi aku sudah klepek-klepek dengan pemeran cowoknya, big bos. Hanya drama yang dapat buat aku melupakan sejenak masalahku.
Aku sadar banget suaraku sangat jelek, duh tapi bodo amat yang namanya juga bahagiain diri sendiri.

"Sarangheo kuba oyo, nananan nana."

Walau aku tidak hafal lirik lagu itu, aku tetap menyanyi, suasana hatiku lebih baik. Terlalu dini mengungkapkan cemburu dan kesal. Benar kata Rani, perempun harus kuat, jangan jadi batu karang bisa terkikis ombak. Lebih baik jadi pohon bakau bisa menghalau ombak. Aku harus menghentikan semua rasa sukaku, aku sadar aku yang jatuh pada pesona pria itu, lalu sendiri merasakan luka. Bukan dia yang salah tapi aku. Aku yang terlalu baperan.
Mulai detik ini aku harus membuka lembaran baru. Jika memang takdir Tuhan maka aku hanya harus mengikutinya. Yang harus aku pikirkan adalah bayiku sehat selalu.

"Astaga jim, dedemit."

Aku baru sajah mematikan keran dan membalikkan badan, hampir sajah jantungan. Gila ni orangtua nggak ada suara buat nyapa. Kalau aku jantungan benaran gimana. Aku mengelus-elus dadaku perlahan. Wajahnya masih datar-datar sajah.

"Ningrum kita harus bicara."

"Maaf mas, Ningrum nggak mau berurusan sama mas lagi. Lelah hati adek."

Aku melihat dia mengerutkan dahinya, kedua alis matanya digabungkan.

"Ning, saya tahu kamu kurang pendidikan. Tapi saya rasa orang desa etikanya lebih baikkan?"

Aku menatap sinis wajah mas Saga yang terlihat datar-datar saja.

"Emang salah Nining apa?"

"Kamu selalu bertingkah sesukamu. Ingat, kamu nggak boleh ikut campur urusan pribadi saya."

Aku mengerutkan dahiku. Cih, terlalu angkuh.

"Yah, tenang aja mulai detik ini aku nggak bakal bertingkah sesuka hatiku. Apalagi itu menyangkut pribadimu kan mas?" Jawabku tenang.

"Dan jangan ikut campur juga urusan Nining." Tambahku lagi, lalu melangkah pergi.

Dek, ayok kita kelayapan. Aku mengelus pelan perutku. Sepertinya aku butuh jalan-jalan. Aku emang jatuh cinta padanya, tapi tidak mungkinkan aku harus terus bersedih dan menangis. Toh cinta nggak bisa dipaksaiin. Masih dini untuk mengubur perasaan ini, lebih baik dari pada hanyut lalu menangis terus.

Aku memberhentikan taksi, aku harus ke kosan Rani.

Aku turun pada gang sempit di depanku. Kosan Rani sepuluh meter dari sini. Aku harus jalan kaki. Nggak apa-apa itung-itung olahraga siang.

*

"Serius??" Pekik Rani kesal setelah mendengar ceritaku.

Aku hanya mengangguk pelan.

"Gila tu om-om, udah beryukur dapat cewek muda. Dih, Ning aku sumpahin suami kamu gila suatu saat nanti kalau kamu pergi."

Aku hanya terkekeh, Rani begitu menggebu-gebu.

"Ran, gimana sih cara makainya?"
Aku menyodorkan hp baru yang dibeli mas Saga.

"Wuih, Ning gila, kamu punya iphone keluar harganya fantasti Ning."

Aku nggak ngerti hanya diam saja, saat Rani mengagumi hp itu.
Katanya mahal tapi sampe detik ini aku belum nemu tombol hidupinya.

Setelah Rani mengajarkanku   perlahan mulai mengerti.
Duh ribet juga ya, aku kadang suka lupa cara angkatnya, berkali-kali aku salah geser layar saat akan terima telpon.
Aku mendengus malas saat Rani menertawaiku.

Hp ku tiba-tiba bergetar, tandanya telpon masuk. Bukan dari Rani tapi dari nomor dengan nama kontak Suamiku.
Aku mengerukan dahiku, sejak kapan aku simpan nomor ini.

"Di angkat Ning, sebelum panggilannya selesai."

Aku cepat menggeser layar merah.

Aku menepuk dahiku.

"Astaga Ran. Aku matiin ya?"
Rani tertawa melihat melihat kebodohanku.

*

Gue mengeram kesal, gila nih Ningrum. Sebenarnya tadi gue masih mau ngomong tapi emang Ningrum sih keras kepala.
Sekarang dia berani tolak telpon gue. Benar-benar bikin gue emosi.

"Hallo."
Gue mendesah legah saat Ningrum mengangkat telponnya.

"Kamu lagi dimana?"

"Rumah teman?"

"Dimana?"
Aku mendengar dengusan kesal dari seberang sana.

"Share alamatnya."

"Please deh mas, jangan campuri urusanku."

Gue mengeram kesal, selain keras kepala, Ningrum makin ngelunjak.

"Jangan membantah perintah saya. Ingat dosa."

"Ngaca mas, jangan ngomong dosa, situ nempel sama perempuan lain kayak perangko aja, nggak dosa?"

Gue menganga, sumpah Ningrum yang paling bisa mendebat gue.

"Ning, Renata cuman teman saya."

"Duh, teman rasa istri ya mas?"

Gue memijit keningku frustasi.

"Kamu dimana ?cepat pulang. Saya tunggu di rumah."

Final gue.

"Nunggu aja sampai makin bangkotan ditumbuhi uban."

Gue baru saja akan meneriakinya, tapi dimatiin dengan cepat oleh Ningrum.

Dasar cerewet, menyebalkan. Tua bangkotan? dia kira gue udah tua banget apa? Sial.

Istri Ndeso Sang Dokter [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang