06 :: Peresmian

995 187 20
                                    

--

Kubuka perlahan mataku setelah mendengar alarm berbunyi di atas nakas, beberapa detik aku tersadar ada tangan yang melingkar manis pada perutku. Jaevan, dia memelukku dari belakang sampe aku nyaris kehilangan degup jantungku.

Aku memberanikan diri untuk menoleh dimana Jaevan masih tertidur nyeyak. Wajahnya lucu, bulu mata yang lebat, hidung mancung, bibir tipis, serta kulitnya yang mulus seperti bayi. Kenapa aku baru bisa melihat wajahnya sedekat ini sekarang? Senyum tipisku terbentuk kemduian hendak beranjak.

Grep!

Jaevan menarik pergelangan tanganku hingga tubuhku kembali jatuh keatas kasur. Lebih tepatnya kehadapan Jaevan. Mata Jaevan terbuka perlahan-lahan menatapku teduh. "Ngapain merhatiin orang lagi tidur?" tanyanya dengan suara serak.

Aku gabisa menjawab apapun selain menggeleng pelan tak mengaku.

Kekehan pelan Jaevan keluarkan kemudian memeluk tubuhku sedikit erat. "Hari ini libur. Tidur lagi aja." Katanya. Aku gak berkutik. Yaampun, perasaan macam apa ini? Kenapa jantungku terus-terusan berdegup dua kali lebih cepat? Kenapa..

"Gua udah gabisa tidur lagi, Jae." aku memberanikan diri untuk bicara, membuat Jaevan melepas pelukannya menatapku.

"Terus?"

"Gada terusan." Aku menggeleng-geleng sambil memegangi selimut yang menutup tubuhku.

"Mau pergi kemana?"

Aku terdiam berfikir. "Emang hari ini gak ngantor?"

Jaevan menggeleng-geleng pelan. "Hari ini kan minggu."

Oh iya, aku lupa. Saking gugupnya jadi serba lupa kayak gini. "Hm..." aku mengangguk kemudian hendak beranjak.

Lagi dan lagi Jaevan menahan tubuhku. Sekarang posisinya dia ada di atasku. "Jae?"

"Kenapa? Kok grogi gitu?" Jaevan naikkin sebelah alisnya sambil tersenyum jahil.

"Engga, biasa aja."

"Hari ini papa ngundang kita ke peresmian gedung barunya. Acaranya mulai lima jam lagi." Jaevan melirik jam dinding kemudian aku melotot.

"Kenapa gak bilang?! Gua belum mandi belum siap-siap!" protesku dengan raut wajah kesal.

Jaevan ketawa pelan. "Entar aja. Santai."

"Mana ada santai, Jae. Nanti kalo telat, papa marah gimana?!"

"Mana pernah papa ngomelin anak tunggalnya." Kali ini Jaevan tersenyum konyol.

Aku berdecih pelan. "Iya deh iya anak kesayangan." Cibirku.

"Kesayangan lu juga gak?"

Pertanyaan Jaevan kali ini membuatku diam, kemudian tersenyum tipis. "Gatau." Kataku.

"Kok gitu?"

"Ya g-gatau atuh, Jae. Gausah nanya macem-macem deh." Aku mulai salting alih-alih kesal pada Jaevan.

Jaevan tersenyum miring. "Mau gua bikin jadi sayang?"

Aku gak menjawab apapun selain menatap wajah Jaevan yang masih ada tepat di depan wajahku. Semakin detik semakin dekat, jaraknya terkikis sampai hidung kami mulai bersentuhan.

Jaevan, menciumku.

Dia mulai memejamkan matanya dan melumat bibirku lembut selama beberapa detik.

Aku gatau harus berbuat apa selain memejamkan mata merasakan pergerakan bibir Jaevan. Aneh, aku merasa wajahku memanas dan suhu di ruangan ini menjadi gerah. Jaevan menahan tengkuk kepalaku untuk memperdalam ciuman kami.

(✓) TSUNDARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang