"Apa kabar, Na?"
Suara itu...
Suara itu benar-benar membuatku diam membeku menatap pria tampan yang kini masih memelukku dengan erat. Sentuhan lembut tangannya yang mendarat di pucuk kepalaku membuat air mataku semakin mengalir deras."J-jaevan...?" lirihku sambil memastikan apakah pria yang sedang memelukku ini beneran Jaevan?
Ternyata benar.
Jaevan mengubah warna rambutnya menjadi hitam pekat. Dia tersenyum manis ke arahku sambil menyeka air mata yang membanjiri pipiku.
"Na, apa kabar?" Jaevan bertanya lagi membuatku langsung menangis histeris dan memeluk tubuhnya erat. Kekehan pelan yang Jaevan keluarkan bisa kudengar sangat jelas, tangan Jaevan terus mengusap punggungku sambil berkata. "Maafin aku, Na."
Dadaku benar-benar sesak mendengar kata maaf yang terlontar dari bibir Jaevan. Di satu sisi aku marah karena Jaevan sempat pergi meninggalkanku, tapi di sisi lain aku benar-benar bahagia bisa mendengar dan melihatnya lagi.
"Jae.. aku pikir kamu udah gak ada." Kataku di sela tangis yang benar-benar pilu.
Jaevan menggeleng. "Aku sembuh berkat kamu, Na. Aku ngelawan semuanya demi janji aku ke kamu waktu itu. Inget kan?"
Kepalaku mengangguk dengan lemah sambil terus menyeka air mataku sendiri.
"Sekarang aku berhasil sembuh, aku bisa hidup jauh lebih lama tanpa harus bikin kamu khawatir lagi. Maafin aku, Na. Aku kangen sama kamu."
Tiga kata yang Jaevan lontarkan di bagian akhir membuat tangisku semakin pecah. Demi apapun ini rasanya benar-benar sesak. Tenggorokanku seperti terhempit dan tak kuasa mengatakan apapun lagi. Jaevan juga sepertinya ikut menangis di dalam pelukan.
"Yena, udah yuk kita masuk, kita ngobrol di dalem." Kak Rene memapah tubuhku yang lemas di bantu oleh Jeno.
"Won, mulai sekarang lu bisa pergi tanpa harus ganggu gua lagi sama Yena. Gua mohon cukup sampe sini aja lu ngehancurin Yena." Jaevan berkata pada Wony di depan pintu masuk.
"Kak, maafin gua." Wony masih merengek tapi kudengar Jaevan langsung menutup pintunya.
Aku duduk di sofa bersama dengan Jeno, kak Rene, dan juga Jaevan. Tanganku terus menggenggam erat tangan Jaevan. "Jae, ini beneran kamu kan?"
Kak Rene terkekeh, begitupun dengan Jaevan. "Beneran, Na. Kenapa gitu?" Jaevan menyahut.
"Pake nanya lagi. Lu gatau gilanya gua ngadepin Yena selama dua bulan ini? Jae, Yena hancur, Yena bener-bener hancur setelah di tinggal lu. Yena di keluarin dari kampus karena ngebakar loker dan kelasnya Wony. Yena gak mau pulang ke rumahnya sampe gua yang harus laporan terus tiap hari, Yena juga gak selera makan setiap hari."
Aku diam mendengar celotehan Jeno pada Jaevan yang membuat suasana menjadi hening.
"Maafin aku, Na." Jaevan kembali meminta maaf lagi sambil menunduk.
Aku hanya diam sambil mengangguk. Air mataku kembali menggenang.
"Yena juga hampir lompat dari atap apartemen gua."
Jaevan melotot mendengar kalimat Jeno yang barusan. "Na?!"
"Aku pasrah, Jae. Maaf. Aku pasrah setelah gadapet sedikitpun kabar dari kamu." sahutku yang mulai kembali menangis.
Jaevan lantas menarikku kedalam pelukan. "Maaf, Na. Maaf udah bikin hidup kamu hancur kayak gini. Aku sendiri beneran gatau karena pas sadar aku udah ada di rumah sakit yang rasanya asing. Yang bikin aku kaget lagi ada Wony, dia duduk di sebelah aku dengan wajah khawatir. Hp aku ilang, Na. Papa mama aku juga gamau ngomong apa-apa. Tapi di hari terakhir aku perawatan, kak Irene dateng dia yang bawa aku kesini dan akhirnya aku bisa ngehubungin kamu."
Jaevan menjelaskannya cukup detail hingga membuatku langsung paham.
"Maafin aku, Na." Jaevan berkata lagi dengan nada suara penuh penyesalan.
Aku mengangguk. "Gapapa, Jae. Aku ngerti, yang terpenting sekarang kamu berhasil sembuh dari penyakit kamu, makasih udah nepatin janji kamu, Jae." aku menatap mata madu Jaevan yang nyaris menggenangkan air.
"Hm, makasih udah mau ngerti." Jaevan sedikit menunduk kemudian Jeno menepuk bahunya.
"Sekarang gimana? Udah sembuh?" Jeno bertanya dengan senyuman tipis.
Jaevan mengangguk. "Udah, Jen. Gua udah denger soal Karina juga, yang sabar ya."
Senyum getir Jeno terbentuk. "Makasih, Jae. Mungkin emang bukan jodohnya."
Tangan Jaevan menepuk-nepuk bahu Jeno berusaha menenangkan kemudian pandangannya teralih padaku. "Na, kamu masih mau nikah sama aku?"
"Anjing, Jae! gua nunggu kayak orang gila lu masih nanya gua masih mau apa engga nikah sama lu?!" aku nyaris memukul kepalanya, tapi dengan cepat Jaevan menepisnya.
"Santai-santai, gausah nafsu gitu dong." Jaevan bisa bercanda sekarang.
Memang Tuhan selalu memberikan hal tak terduga di dalam kehidupan. Orang yang kupikir sudah tidak ada di dunia ini, orang yang membuat hidupku hancur, dan orang yang kukira tidak akan selamat. Sekarang dia ada di depan mataku, tersenyum lebar sambil memastikan apakah aku masih mencintainya atau tidak.
"Jadi, sekarang gimana?"
Jaevan mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya. Sebuah cincin berlian elegan yang bentuknya sangat cantik.
"Jae???" Aku melotot dengan mata sembabku.
"Mau atau engga?"
Aku masih linglung. "Eh ini gak prank kan?"
BRUKH!
Ditengah kebingunganku ada beberapa orang yang terjatuh saling tindih dari kamar kak Rene. Om Siwon, tante Yoona, mama, Papa, kak Jaehyun, dan kak Rose menatap ke arahku dengan raut wajah tanpa dosa.
"Jadi, kalian kapan mau bikin dede?"
Pertanyaan om Siwon membuatku melotot kemudian seisi ruangan tertawa.
-END WEH-
YHAAA UDAH TAMAT AJA WKWKWK.
MAAF YA KALO MASIH ADA KEKURANGAN DAN KETERLAMBATAN UPDATE DARI NUNA. UNTUK NEXT BOOK BISA LANGSUNG REUEST DI KOLOM KOMENTAR AJA.
KALO ADA KRITIK DAN SARAN JUGA BISA LANGSUNG KOMEN.
SEBELUMNYA TERIMA KASIH UNTUK PARA PEMBACA YANG SETIA NUNGGUIN, KOMEN, DAN KASIH VOTE DI SETIAP UPDATEAN NUNA. CUKUP TERHARU KARENA VOTE DARI KALIAN YANG BIKIN NUNA SEMANGAT BUAT UPDATE.
BUAT NEXT BOOK MAU SHIPPER SIAPA LAGI NIH? YUK LANGSUNG AJA DI KOMEN.
THANK U PUL :*
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) TSUNDARE
Fanfiction: Yang dingin juga bisa meleleh kalo di angetin terus tiap hari. TSUNDARE ⓒ CIRIEKINNA