12 :: darah apa?

797 130 26
                                    

--

Aku bersedekap di hadapan Jaevan dan juga Dokter Park yang masih duduk di kasur kamarku. Keduanya menunduk tanpa berani menatap wajah apalagi mataku. Aku kesal, benar-benar kesal dengan apa yang Jaevan lakukan tadi. Bisa-bisanya dia merahasiakan sesuatu yang konyol dariku; Gamau di suntik vitamin dan minum obat. Itu doang!

Aku maksa. Sekarang tangan kanan Jaevan sudah di tusuk jarum kecil berisi vitamin daya tahan tubuh, yang berhasil Jaevan tolak dan rahasiakan dariku selama beberapa detik.

Untung aja aku denger pembicaraan mereka. Coba kalo engga?! Mungkin sekarang Jaevan masih layu kayak taneman kurang pupuk. "Udah? Apalagi yang dia rahasiain? Jujur!" aku sedikit membentak dokter Park tanpa memperdulikan berapa umurnya.

"Gak ada, Yena."

"Bener?! Kalo bohong, saya suntik asam sulfat!"

"Buset. Bener saya bener. Gak bohong."

"Oke, makasih dok." Aku tersenyum manis kemudian menghampiri Jaevan. "Masih berani lu liat-liat gua? tunggu disini, gua mau anter dokter dulu kedepan, awas ya lu kabur." ancamku kemudian mengantarkan dokter Park keluar dari penthouse. Sebelum dokter pergi, aku mengucapkan terima kasih sambil sedikit membungkukkan tubuh.

Selepas itu, aku kembali melangkah masuk menghampiri Jaevan yang masih rebahan di atas kasur kamar. "Heh!" Aku memukul lengan Jaevan sedikit kasar kemudian duduk di sebelahnya. "Apa yang kerasa sekarang? masih pusing?"

Jaevan menggeleng. "Engga. Udah biasa aja. Kan udah gua bilang, gua itu cuma kedinginan."

"Tapi emang harus banget ngerahasiain hal konyol kayak gitu? apa-apaan gamau di suntik vitamin sama gamau minum obat? Kalo lu makin sakit gimana? Gua juga yang repot. Gua gabisa bikinin lu bubur, gua gangerti obat-obatan apalagi yang herbal. Gimana kalo nanti gua kasih lu obat kudis? Kan galucu. Jaga kesehatan, jangan bandel, kalo sakit ya minum obat sama vitamin, bukan KOPI!"

Tanganku lantas meraih satu cup americano 4 shoot setengah habis di atas nakas, kemudian aku lempar kedalam tong sampah. "Tau akibatnya ngopi terus? jadi goblok."

"Berarti lu juga sering minum kopi dong?"

Aku menggeleng. "Engga."

"Kok goblok?"

"JAEVAN!" harus sabar sama Jaevan, harus sabar, bener-bener sabar.

Aku menarik nafas kemudian menyelimuti tubuh Jaevan menggunakan bedcover. "Tidur ya, besok gausah kemana-mana, tidur aja di rumah gua temenin. Lagian hari sabtu juga."

"Ini yakin cuma di selimutin sama bedcover doang?" Jaevan menatapku datar.

"Iyalah, cuma ada ini."

"Kan ada lu."

Grep!

Jaevan menarikku kedalam pelukan. Sekarang posisiku wajahku nyaris menempel pada leher Jaevan dan tangan Jaevan melingkar manis pada pinggangku. Rasanya hangat dan nyaman. "Tidurnya gini aja biar gua cepet sembuh."

Aku gak berkutik, buat nelen ludah aja rasanya susah banget. Kuberanikan untuk dongak menatap wajah Jaevan yang matanya sudah terpejam. Emang sangat sempurna, Jaevan sangat sempurna di mataku. Walaupun terkadang sangat menyebalkan, tapi hanya Jaevan yang sekarang ada di benakku. Hanya nama pria itu yang selalu kuingat di segala situasi.

Mata Jaevan terbuka perlahan hingga bertemu dengan manik mataku. "Kenapa ngeliatin terus? ganteng ya?"

Aku berdecih. "Geli."

"Geli kok di liatin terus."

"Suka-suka gua." aku masih gamau kalah, kemudian aku tersenyum. "Jae, bisa janji satu hal sama gua?"

(✓) TSUNDARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang