15 :: terbongkar

679 122 23
                                    

--

A.
"Kalo kamu di jodohin sama cowok lain, mau?"

Pertanyaan Jaevan membuatku terdiam pagi ini. Suasana pagi yang harusnya hangat kini mendadak jadi dingin karena topik pembicaraan Jaevan. Apa-apaan pria ini? kenapa ngasih pertanyaan konyol padaku?

Aku menggeleng singkat. "Engga, kenapa nanya gitu? kamu udah gamau sama aku?" sahutku di iringi pertanyaan kembali.

Kekehan pelan Jaevan keluarkan sambil merapikan kemeja kerjanya, kemudian dia menghampiriku di atas kasur. Jaevan memelukku erat. "Sensi amat sih? Aku cuma iseng nanya doang, Na." katanya.

"Kalo sampe aku di jodohin sama cowok lain selain kamu, aku mau pergi aja ke luar negeri, Jae. mengasingkan diri judulnya." Aku melepas pelukan menatap Jaevan sebal.

Tangan kekar Jaevan menarik kedua pipiku pelan. "Iya-iya, oke sayang. Gausah ngambek gitu, jelek." Cibirnya seraya beranjak meraih jaket jeans dari gantungan. "Aku berangkat ke kantor dulu ya, mau ketemu clien sampe nanti sore, kamu gapapa di rumah sendirian?"

Aku mengangguk. "Hm, gapapa kok. Hati-hati ya, Jae. Jangan lirik-lirik cewek lain."

"Siap tuan putri, sun jangan?"

Gatau kenapa aku ketawa. Dulu aku yang sering nawarin gitu ke Jaevan, eh sekarang malah Jaevan yang kayak gitu. Aku gak jawab sih, aku langsung ngecup pipi Jaevan singkat tanpa persetujuannya.

Jaevan tersenyum manis. "Gemes." Katanya mengacak pucuk kepalaku. "Aku berangkat ya sayang." Kemudian dia pamit sambil mengecup singkat keningku.

Kutatap punggung Jaevan yang kian menjauh dan lenyap di balik pintu. Rasa sayangku terhadapnya selalu bertambah setiap hari walaupun terkadang aku suka takut akan kehilangan dirinya. Aku benar-benar belum siap untuk melakukan perpisahan dengan siapapun apalagi Jaevan. Yang aku inginkan adalah hidup bahagia selamanya dengan Jaevan.

Aku mau ngeliat senyum manis Jaevan terus setiap hari. Aku gamau senyum itu pudar apalagi sampe hilang.

"Ngebo ah."

Crekh!

Baru aja aku mau rebahan lagi di kasur, tapi ada sesuatu yang terjatuh dari dalam lemari Jaevan. Beberapa lembar kertas bertuliskan 'GANGNAM HOSPITAL LABORATORIUM.' Itu membuat hatiku sedikit mencelos.

Selembaran apa itu?

Kuberanjak perlahan dan kuraih tumpukan kertas tipis itu.

Bibirku bergumam tak ada hentinya membaca surat-surat pernyataan vonis Jaevan yang benar-benar melemaskan lututku. Aku jatuh terduduk dengan air mata mengembang deras. Kenapa cowok itu sangat brengsek? Kenapa dia sembunyiin ini semua dari aku? mana yang katanya dia bakal jujur ke aku?

Gak! Ini bukan waktunya buat marah sama Jaevan. Aku sendiri gatau harus ngelakuin apa sekarang. Aku cuma bisa nangis terduduk di lantai sambil meremas kertas yang ada di tanganku.

Jaevan brengsek!

Jadi dia bener-bener bakal ninggalin aku selamanya?

Dadaku benar-benar sesak, tenggorokanku terhempit seperti tak ada celah untuk udara masuk. Isak tangisku menggema keseisi kamar sekarang. Aku kacau. Aku menangis kayak orang gila kemudian berusaha berdiri meraih kunci mobil milikku dan pergi ke rumah sakit Gangnam.

Aku mau menemui dokter Park untuk bertanya semuanya.

B.
"Maaf, saya benar-benar minta maaf pada anda karena saya gabisa berkata jujur waktu itu. Saat saya meriksa tuan Jaevan di rumah, saya langsung tau kalo tuan menderita penyakit serius."

Aku udah gabisa berkata apapun lagi di depan dokter Park selain menangis.

"Hal yang tuan Jaevan bilang jangan beritahu siapapun, bukan tidak mau minum obat atau vitamin. Tapi tuan mau saya nyembunyiin soal penyakitnya dari orang lain termasuk anda. Tuan Jaevan gamau bikin orang lain khawatir."

Air mataku semakin deras mendengar perkataan dokter Park. Dokter yang sudah sangat kenal dengan Jaevan sejak Jaevan remaja hingga sekarang.

"Sejak kapan Jaevan menderita tumor otak?" aku memberanikan diri untuk bertanya sambil menahan tangis.

Dokter Park terlihat menghela nafasnya berat. "Bulan lalu, tuan Jaevan datang kesini hampir setiap hari dengan keluhan sama. Kepalanya sangat sakit di barengi mimisan, tatapannya kadang berkunang-kunang seperti ingin pingsan. Tuan Jaevan mengalami itu setiap hari di tempat kerjanya. Setelah saya periksa, ternyata di otaknya ada tumor."

"A-apa Jaevan bisa sembuh?"

"Kemungkinannya hanya tiga puluh persen, karena kebanyakan dari penderita tumor hidupnya tidak akan lama."

Aku nyaris pingsan mendengar jawaban dokter Park. Aku menangis dalam diam sambil meremas ujung bajuku kuat. Demi Tuhan aku harap ini cuma mimpi.

Kleck!

Aku dan dokter Park menoleh menatap ke arah pintu ruangan yang terbuka. Dimana ada seorang pria disana, berdiri kaku dengan raut wajah terkejut. Tangisku semakin jadi melihat Jaevan yang ternyata juga datang.

"Tuan Jaevan selalu datang untuk memastikan kondisinya." Dokter Park buka suara.

Jaevan melangkah masuk menghampiriku dengan tatapan sendu. Aku bisa melihat dengan jelas kalo mata Jaevan sudah menggenangkan air disana. Tanpa berlama, aku lantas lari menghampiri Jaevan dan memeluknya erat.

Tangisku pecah mendominasi ruang dokter Park.

"Maaf." kudengar suara dokter Park kepada Jaevan.

Jaevan mengangguk di dalam pelukan kami, dia tidak terlihat marah padaku ataupun dokter Park. Tangan Jaevan mengelus pelan kepalaku dan juga punggungku. "Kenapa kamu sembunyiin hal besar kayak gini, Jae? kenapa kamu gak langsung bilang ke aku biar aku bisa bantu sembuhin kamu?"

"Aku gamau bikin kamu gabisa tidur nyenyak, Na."

Tangisku makin menjadi-jadi mendengar jawaban Jaevan. Dia gatau apa kalo aku overhink terus setiap hari? Aku udah gabisa tidur nyenyak setelah ngeliat Jaevan mimisan terus. "Aku gamau kehilangan kamu, Jae. Harus bilang berapa kali lagi? Aku gamau kehilangan sosok Jaevan di hidup aku. Aku sayang sama kamu, Jae. Setelah aku tau kamu menderita tumor otak, aku hancur Jae." ocehku di sela tangis.

"Maaf." suara Jaevan terdengar bergetar. Dia merengkuh tubuhku jauh lebih erat sekarang. "Maafin aku."

"Aku gamau maafin kamu sebelum kamu sembuh, Jae."

Jaevan berdeham pelan. "Hm, aku bakal sembuh demi kamu, Na."

"Plis, plis banget jangan ada yang di sembunyiin lagi." Tanganku mengepal kuat menahan isak tangis.

Beberapa detik Jaevan memelukku, usapan tangannya memelan, aku bisa mendengar kalau detak jantung Jaevan melemah. Tubuh pria itu sangat dingin bahkan tangannya berkeringat.

"Jae?" aku dongak menatap wajah pucat pria itu yang tatapan matanya sangat sayup.

"Jae??" panggilku lagi sambil menggoyahkan tubuh Jaevan.

Jaevan tak merespon, dia hanya diam dengan tubuh melemas. "Dok! Jaevan kenapa?!"

Dokter Park langsung memencet bel darurat untuk memanggil beberapa suster masuk kedalam ruangannya.

"Jae kamu kena------"

BRUKHH!!

"JAEVANNNN!!" 

(✓) TSUNDARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang