18 :: Pasrah

607 106 17
                                        

--

Sudah dua bulan berlalu aku tidak mendengar kabar apapun dari Jaevan. Pria itu menghilang begitu saja seperti di telan bumi. Tidak ada kata pamit, ataupun senyum perpisahan darinya. Aku berantakan, aku di DO dari kampus karena membakar loker Wony minggu lalu, dan aku tidak pulang ke rumah orang tuaku sejak kejadian itu. Ponselku mati, kubiarkan begitu saja karena rasanya sangat percuma; tidak ada pesan dari Jaevan di dalamnya.

Iris mataku menatap lurus ke arah jalan raya yang tepat berada di bawahku. Banyak kendaraan roda empat berlalu lalang dan pejalan kaki yang sangat menikmati hidup. Brengsek. Kenapa Tuhan tidak adil padaku? Kenapa dia mengambil hidupku yang nyaris sempurna dulu?

Air mataku menggenang mengingat bagaimana Jaevan di bawa pergi begitu saja oleh Wony dalam keadaan sekarat.

Sampai detik ini aku masih belum mendapatkan titik terang. Aku belum tau alasan keluarga Jovano yang katanya kuat itu di kalahkan dengan keluarga sampah milik Wony.

Tubuhku beranjak, berdiri di tepi rooftop sambil memejamkan mata. Kutarik nafas dalam-dalam sambil memikirkan hal yang menyenangkan.

Sial.

Malah Jaevan yang terus muncul di dalam ingatanku. Suara dan senyumnya terus menggema keseisi kepalaku. 'Jae, kamu apakabar? Kamu sekarang ada dimana? Kenapa kamu ga berontak dan pergi, Jae? kenapa kamu malah pasrah begitu aja? Dimana ucapan kamu yang katanya mau nikahin aku? udah dua bulan aku gak ngeliat kamu, udah dua bulan juga aku gak pulang ke rumah kita karena rasanya bener-bener gak sanggup.

Sekarang, kalo emang kamu udah sembuh dan nerima perjodohan dengan Wony aku ikhlas, Jae. perlahan aku bakal relain kamu sama orang lain asalkan aku masih bisa ngeliat kamu hidup bahagia. Tapi kalo misalnya kamu udah gada di dunia ini, masuk kedalam mimpi aku, Jae. Kasih aku petunjuk biar aku bisa langsung susul kamu.

Aku kangen kamu, Jae.'

Air mataku terus meluruh membanjiri pipi.

Sejujurnya aku sudah pasrah dengan hidupku sekarang, aku bahkan sudah seperti wanita berandalan yang kerjaannya hanya minum alkohol, tidur, dan menangis.

"YENA!!"

Grep!

Tubuhku di tarik kasar kedalam pelukan seorang pria yang aku tau persis siapa dia. Bau maskulin ini sangat familiar di indra penciumanku.

"Jangan gila!" Jeno membentakku sangat kencang sambil terus memelukku erat. Air mataku kembali meluruh setelah Jeno memegang kedua bahuku dan menatapku tajam. "Jaevan gakan bahagia kalo ngeliat lu kayak gini! Gausah bodoh! Lu udah cukup konyol karena di keluarin dari kampus!"

Aku tersenyum miring menatap Jeno. "Gua emang tolol, gua benci sama diri gua sendiri karena di kalahin sama cewek macem Wony! Kalo lu mau bandingin kisah lu sama gua itu gakan sebanding, Jen! Karina itu cuma nikah sama cowok lain, bukan di bawa pergi sama cowok lain! sampe detik ini gua bahkan gatau dimana Jaevan, gua gatau kabarnya, gua gatau dia masih ada disini atau engga!"

Semakin aku berbicara, semakin bergetar pula suaraku. Dadaku sangat sesak. Benar-benar sesak.

"Biarin gua mati, Jen." Suaraku melembut dan terdengar pasrah. "Gua mending mati daripada hidup kayak gini." Lanjutku sambil menarik tangan Jeno dan melangkah mundur sampai tepi rooftop. "Dorong gua sekarang."

Jeno melotot karena memang tangannya aku tahan pada lingkar leherku. Sekali dia bergerak atau melangkah sembarangan, aku bisa saja terdorong dan jatuh dari lantai lima puluh enam.

"Na, dengan lu mati gakan nyelesain semuanya! Yang ada Jaevan malah nikah sama Wony!"

Kalimat Jeno membuat lututku melemas. "Sekarang kalo gua hidup apa Jaevan bakal kembali, Jen? Apa Jaevan bakal nemuin gua? ENGGA KAN?!" aku berteriak histeris seperti orang gila.

"Setidaknya bisa lu yang perjuangin Jaevan mulai sekarang."

Aku terdiam. Memang ada benarnya ucapan Jeno, tapi tetap saja aku sangat pesimis dengan diriku sendiri.

"Jaevan sayang sama lu, Na! Jaevan bener-bener sayang sama lu! Dia gamungkin nerima perjodohannya begitu aja sama Wony."

Kepalaku menggeleng. "Kalo dia sayang sama gua, dia gakan ngebiarin gua nunggu selama ini, Jen."

Srekhh!

Brukh!

Tubuhku jatuh menimpah tubuh Jeno.

"Maaf, kalo gua narik lu sedikit kasar." Kata Jeno sambil menghela nafasnya kasar.

Aku hendak beranjak, tapi Jeno kembali menahan. Kedua tangannya mencengkram erat kedua lenganku hingga aku tidak berkutik. "Lepasin gua." pintaku yang terus memberontak.

"Na, sadar!"

"Lepasin gua, Jeno!!!"

Jeno tak menjawab apapun, pria itu hanya memelukku dari belakang bermaksud menahan tubuhku yang terus ingin melompat. Tangisku pecah, tubuhku lemas setelah beberapa menit berusaha melawan tenaga Jeno.

"Na..." Panggil Jeno setelah merasakan aku yang sudah tak lagi memberontak.

Tangisku semakin menjadi.

"Jen.. gua mau Jaevan.."

"Gua cuma mau Jaevan... cariin dia, Jen..." pintaku di sela tangis sambil jatuh terduduk.

Jeno berjongkok di hadapanku kemudian memelukku tanpa suara.

"Gua sayang Jaevan, gua mau Jaevan.." rengekku terus seperti itu.

Jeno hanya mengusap-usap pucuk kepalaku tanpa menyahut apapun. Sepertinya dia tau apa yang sedang aku rasakan. Sekitar setengah jam aku menangis tanpa henti, akhirnya aku mulai tenang.

Drt!

Drt!

Tiba-tiba ponsel Jeno bergetar di dalam saku jaket kulitnya. Terlihat ada nomor asing menelepon dan Jeno mengangkatnya dengan ragu.

"Halo? Siapa ya?"

'.....'

"Halo??"

'....J-jen..'

Mata Jeno melotot. 

(✓) TSUNDARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang