08 :: salah paham

895 163 14
                                    

--
.

A.
"Gabisa, Na. Gabisa keluar gitu aja, yayasan yang bilang langsung ke gua kemaren. Dia marah-marah karena lu  ngundurin diri gitu aja." Alex berceloteh di hadapanku dan juga Nia. Aku sempat melengos, tapi Alex mencegatku lagi untuk berbicara sebentar di kafetaria. Agak ragu sih, tapi aku juga gak enak.

Aku menghela nafas samar sebelum menjawab. "Lex, bukan gua yang telepon yayasan. Tapi tunangan gua, dia yang minta gua buat keluar."

"Kenapa harus ngelibatin rumah tangga sih sama urusan kuliah?" nada suara Alex sedikit meninggi membuatku menukkikan alis samar. Apa-apaan dia bicara seperti itu di hadapanku dan juga Nia? Belum tau cepunya Nia kayak gimana ya?

"Bukan masalah ngelibatin urusan rumah tangga ke kuliah, tapi lu sadar gak sih sikap lu ke Yena itu berlebihan. Padahal udah pernah ketemu kan sama Jaevan? Dia pewaris tunggal keluarga Jovano yang punya saham besar di universitas ini." Nia menyahut dengan nada suara tak kalah nyolot.

Decakan Alex keluarkan kemudian ekspresinya berubah menjadi memelas. "Gua gatau dan gamau ada urusan sama Jaevan. Gua cuma pusing karena lu keluar gua jadi di terror sama yayasan."

"Gamungkin. Soalnya kemarin yang telepon itu tunangan gua, bukan gua. Dia yang minta gua buat keluar." Aku menyangkalnya. Karena gamungkin Alex di omelin sama yayasan dengan alasan aku keluar, padahal yang minta aku keluar kan Jaevan.

Alex hendak memegang tanganku untuk meyakinkan, tapi aku menepisnya. "Gausah kayak gini, gua udah punya suami."

"Masih calon." Alex hendak memegang tanganku lagi, tapi aku menepisnya jauh lebih kasar.

"Gausah maksa ya anjing." Nia mulai emosi liat kelakuan Alex yang nyeloncong.

Kali ini Alex memijat pelipisnya pelan. "Oke maaf, kali ini aja lu jangan keluar, Na. Kita udah gapunya cadangan lagi."

"Gua kerahin Nia, atau Giselle dari sastra inggris. Dia jauh lebih pinter kan dari gua." aku beranjak sambil menggemblok tasku. Ekspresi wajahku sudah super kesal, rasanya benar-benar malas di paksa berkomunikasi dengan orang kurang hajar seperti Alex. Sial, aku pikir dia cowok yang baik dan berakal. Ternyata goblok.

"Na.."

Alex memanggil tapi aku tak menggubris. Aku terus melangkah menuju taman kampus dimana ada Haikal dan Rendi lagi nongkrong disana. Biasa lah cowok-cowok pasti demennya mojok

"Jaevan jemput apa gim----- LOH ITU JAEVAN?!" Nia melebarkan matanya menatap pria tampan berkemeja rapi yang sedang melangkah keluar dari ruang yayasan. Aku ikut kaget lah, ngeliat Jaevan ngapain ada disini? Sejak kapan juga dia ada disini?

Aku berlari menghampiri cowok itu yang kini menatap ke arahku dengan senyuman tipis. "Lu ngapain?" tanyaku ketika sudah sampai di hadapannya.

"Abis daftar jadi mahasiswa dong, emangnya lu doang yang bisa kuliah? Kak Jaevan juga bisa."

Sahutan seorang gadis yang baru saja keluar dari pintu ruang yayasan membuat hatiku mencelos. Wony tersenyum manis dengan bangganya berdiri di sebelah Jaevan. Senyumku pudar, lututku sedikit lemas. Kemudian aku menarik nafas panjang. "Lu daftar bareng Wony?"

"Iya, dia daftar bareng gua." Wony yang menjawab. Aku meliriknya dingin kemudian mengangguk singkat.

"Oke." Aku lantas melenggang pergi seorang diri meninggalkan Nia yang terdengar tengah mengomel kepada Jaevan.

Ini kenapa dada aku sesek ya? Kenapa juga rasanya mau ninju orang? Brengsek banget, kenapa Jaevan gak ngabarin aku mau daftar masuk jadi mahasiswa? Dia malah daftar bareng cewek yang jelas-jelas aku benci dari abad ke-20.

(✓) TSUNDARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang