Berat badanku turun sekitar dua kilo..
Sudah satu minggu aku tidak masuk kuliah karena menemani Jaevan di rumah sakit.
Pria brengsek itu tak kunjung siuman setelah mengalami kejang yang cukup hebat. Kata dokter kejang itu di sebabkan dari suatu rangsangan otaknya. Walaupun dokter bilang aku harus menyiapkan diri, aku tetep berisikeras meminta pada Tuhan agar Jaevan cepat sadar.
Aku masih membawa kartu undangan itu untuk menimpuk Jaevan kalo-kalo dia sadar nantinya.
Iris mataku menatap tubuh tak berdaya Jaevan yang sudah satu minggu tidak mengajakku bicara. Tidak ada suara tawa ataupun senyum manis darinya. Aku kangen Jaevan. Aku kangen cara dia memelukku, menatapku, dan juga memperhatikanku. Jujur, Jaevan memang sangat menyebalkan, tapi sifat nyebelinnya itu yang membuatku terus merasa rindu.
Kenapa Tuhan sejahat ini? kenapa dia selalu membuat orang baik seperti Jaevan cepat pulang kepangkuannya?
"Makan, gua udah beliin ini pake duit jajan gua." Nia menyodorkan paperbag berukuran sedang di hadapanku. Ngapain gadis itu kesini? Dia gak kuliah?
"Na!" Nia memanggilku lagi, kali ini nada suaranya sedikit tinggi.
Aku menoleh menatap Nia datar kemudian meraih paperbag-nya. "Makasih." Kataku.
"Gimana keadaan Jaevan?" Nia duduk di sebelahku sambil ikut menatap ke dalam ruang rawat Jaevan.
Senyum getirku terbentuk mendengar pertanyaan Nia. "Sama aja." Sahutku.
"Apa kata dokter?"
"Siap-siap."
Mengerti dengan jawabanku, Nia lantas menoleh dengan tatapan sendu. "Na..."
"Hm?" aku hanya menjawab dengan dehaman karena mulai tak kuasa menahan tangis.
Tanpa aba-aba Nia memelukku erat. Terdengar isak tangis dari gadis itu yang berusaha ia tahan. Tangan Nia mengusap pelan punggungku bermaksud menenangkan. Rasanya percuma, aku seperti mati rasa, aku bahkan lupa bagaimana caranya tersenyum sekarang.
"Yena."
Suara itu membuat pelukan kami terlepas. Aku menatap gadis berawakan tinggi dan cantik yang sedang berdiri sambil membawa satu amplop berukuran besar.
"Wony?" Aku berdiri di hadapan gadis itu yang kini menyodorkan amplop cokelatnya.
"Ini apa?" tanyaku sambil menerimanya perlahan.
Wony menghela nafasnya kasar. "Gua menang. Sekarang keluarga kak Jaevan resmi ngebatalin perjodohan lu sama kak Jaevan karena separuh perusahaan om Siwon di beli sama papa gua. Uangnya di pake buat biaya pengobatan kak Jaevan keluar negeri."
"Luar negeri?" beoku sedikit lemas.
"Lu udah gada hak buat tau kak Jaevan bakal di bawa kemana. Gua yang bakal nemenin dia mulai sekarang."
Emosiku benar-benar berada di puncak sekarang. Kusobek-sobek amplop itu menjadi bagian kecil dan kulempar ke wajah Wony. "Bangsat! Lu gapunya otak apa gimana sih!? Lu manfaatin keadaan Jaevan yang lagi kayak gini?!"
Aku hendak menyerang Wony, tapi Nia menahanku.
"Jaevan sekarat!!! Tapi lu malah manfaatin keadaan demi bisa di jodohin sama Jaevan!" air mataku sudah tak bisa terbendung sekarang. Tangisku benar-benar pecah menggema keseisi lorong rumah sakit.
"Yena!"
Seorang pria berlari ke arahku ketika tubuhku jatuh terduduk di lantai. "Na.." Jeno merengkuh tubuhku, begitupun dengan Nia.
"Mulai sekarang, gausah ganggu kak Jaevan lagi." Setelah mengatakan itu Wony melangkah pergi meninggalkanku yang sudah menangis hebat.
"Lu siapa?" Nia bertanya pada Jeno.
"Gua kakaknya Jaevan."
Nia mengangguk kemudian pandangan mereka berdua kembali teralih padaku. "Jen.. bener apa kata Wony?"
Jeno terlihat sedikit menunduk. "Hm.. bener. Orang tua Wony bikin kesepakatan sama orang tua Jaevan yang gua gatau sama sekali."
Tangisku semakin pecah mendengar pengakuan dari Jeno. Aku benar-benar pasrah sekarang. Kalo kayak gini caranya apa aku salah ngedoain Jaevan agar cepat meninggal dan aku akan langsung menyusulnya?
"Yena!!!"
**
Aku membuka mataku perlahan menatap langit kamar yang berwarna putih bersih. Sekarang aku ada dimana? Kenapa suasananya sangat berbeda dengan rumah sakit?
"Na? udah sadar?" suara berat itu membuatku menoleh. Jeno duduk di tepi kasur dengan tatapan sendu.
"G-gua dimana, Jen? Sekarang gimana sama Jaevan?" aku hendak beranjak tapi Jeno menahan tubuhku.
"Na tenang." Jeno menahan kedua bahuku agar kembali duduk di kasur. "Na...sekarang lupain Jaevan."
PLAK!
Aku spontan menampar pipi Jeno lumayan keras. "Gausah ikut campur! Gua sayang sama Jaevan! kalo Karina yang ngalamin hal kayak Jaevan, apa lu bakal ikhlasin gitu aja?!" nada suaraku naik dua oktaf kemudian berlari menuju pintu.
"Karina udah ninggalin gua." kalimat Jeno menghentikan langkahku. "Karina hamil sama cowok lain, dan gua berusaha ikhlasin itu. Lebih baik dia nikah sama orang lain ketimbang dia ninggalin gua dari dunia."
Kepalaku tertoleh sambil berkata. "Kita beda. Gua malah berharap Jaevan mati jadi gua bisa nyusul, ketimbang ngeliat dia nikah sama cewek lain." air mataku kembali meluruh.
Ketika aku hendak membuka pintu, Jeno menarik tanganku kasar hingga mendarat di dada bidangnya.
Aku berontak.
"Na!" Jeno membentak sambil menahan kedua tanganku.
"Pesawat Jaevan udah terbang lima belas menit yang lalu!"
Lemas. Tubuhku lemas. Aku tidak lagi berontak, tapi aku lemas. Air mataku lantas turun tanpa diminta.
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) TSUNDARE
Fanfiction: Yang dingin juga bisa meleleh kalo di angetin terus tiap hari. TSUNDARE ⓒ CIRIEKINNA