33. Bocah Zaman Now

13.8K 2.6K 1.4K
                                    




Setelah menjadi pendengar setia penjelasan Karin yang panjang lebar, kini Bima tahu apa yang harus direvisi dari desain kemasan yang ia ciptakan. Tidak tanggung-tanggung, dulu saat pemaparan usulan, kelompoknya sudah disinggung tentang kemasan produk tepung mocafnya. Sekarang, sudah KKN bahkan sudah berminggu-minggupun, revisi selalu saja menantinya.

"Gue sering kayak gini. Udah dikasih bagus, tapi malah minta yang biasa aja. Kadang malah ngelawan etika desain," keluhnya.

"Yaudah lah, ya. Mau gimana lagi."

Karin lantas memasang raut sedih. Ia juga bingung sendiri harus apa. Sejujurnya, ia juga merasa tidak enak jika harus merepotkan Bima terus-terusan.

"Maaf, ya, Bim? Gue juga nggak tau harus gimana," sesalnya.

Bima menggeleng. "Nggak, Rin. Nggakpapa, ini kan proker kita semua."

"Kalau revisinya masih lama, gue masih bisa ngakalin, bisa lah mikir baiknya. Lah ini? Gue bingung disuruh ngatur lagi sebagus mungkin, kemarin-kemarin juga udah gue atur, tapi kok... revisi terus? Jujur nih, gue udah ngantuk berat gara-gara ngurus proker gue sama Baskara, tapi mau gimana lagi? Udah kerjaan gue juga kayak gini," lanjut Bima, walaupun mengeluh tapi tetap yaudahlah ya.

"Capek ya, Bim?"

"Kalau Cuma revisi font sama kalimat gitu gue nggak papa, tapi kalau udah nyangkut warna sama bentuk... rasanya pengen berenti aja, udah. Pengen pulang ke kosan gue rasanya." Bima berceloteh, dengan Karin yang hanya diam, menyimak Bima, berharap jika Bima lebih lega jika sudah bercerita.

Memperhatikan Bima yang sejak tadi mengeluh membuat Adimas merasa agak iba."Gue bisa, desain tipis-tipis. Kadang gue seneng juga, sih, sama kreatifnya iklan-iklan gitu, kayak iklan sirup yang ada storyline-ya itu. Ada superhero lokal semacam Kelana, Reogman, Singabarong, Codot Bati itu." Ia bercerita, mencoba memuji tiap kreatifitas banyak kepala.

"Hah? Codot? Kampret?" tanya Hema.

Melihat teman-temannya yang agak bingung dengan pernyataannya barusan membuat Hema langsung menjelaskan. "Di Jawa, codot yang suka makan buah mateng di pohon, anjir."

"Gue tau, sih, iklan yang lo maksud apa, Dim," balas Bima. "Ngerasa rupa Singabarong mirip Leomon, nggak?"

Adimas berpikir sejenak. "Leonmon yang di Digimon? Iya, sih, mirip. Ya namanya aja singo, singa."

"Dulu, gue pernah pengen masuk DKV. Kuliah DKV enak nggak, sih?" tanya Karin.

"Ada seneng, ada enggaknya, Rin," singkat Bima.

"Dulu pas masih maba, gambarnya masih manual, paling ya beli sketchbook, cat air gitu-gitu. Baru pertengahan, udah masuk digital. Beli laptop juga yang speknya lumayan. Begadangnya dikencengein," lanjut Bima. "Ya gitulah, biasa anak kuliahan."

"Kenapa anak Sipil, Arsi, sama DKV kalau bawa drafting tube, kelihatan keren, ya?" ujar Baskara yang baru saja bergabung dengan mereka.

"Mas gue dulu waktu kuliah bawa-bawa gituan, kenapa kelihatan keren, ganteng banget, padahal muka kita sama aja. Entah kenapa, dia kelihatan lebih keren banget gitu," lanjutnya.

Adimas memberikan satu jempolnya ke arah Baskara. "Iya, Bas. Keren, aslinya jiwanya depresi."

Terkekeh pelan, Bima setuju dengan dua pendapat yang sempat dilontarkan Adimas dan Baskara. "Emang punya daya tarik tersendiri, Bas. Kayak jadi makin ganteng. Kadang, gue kalau mlipir ke warung bakso bentar masih bawa gituan, eh diliatin banyak cewek."

Halo KKN ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang