2. PD Tingkat Nirwana

63.7K 9.1K 988
                                    

Haloooo, maaf lahir batin 🤗

"Lo kenapa sih, Nin? Kayak orang ketakutan gitu."

Anin sontak menoleh ke kirinya. Frisya memang ia paksa duduk tepat di sebelahnya. Hanya ada beberapa mahasiswa yang ikut kelas, peluang untuk bersebelahan dengan patung berjalan semakin besar.

Beberapa hari lalu, tepat saat aplikasi pencari jodohnya tertuju ke salah satu sosok yang tidak ia kenal dengan baik, ia langsung melongo. Bagaimana tidak, Bagus malah langsung undur diri tanpa mengatakan apa-apa. Bikin malunya tambah menjadi. Padahal baru saja Anin mau menjelaskan kalau ia tidak sengaja memencet profil Bagus.

"Dosennya siapa, Fris?"

"Astaga, Nin." Frisya memutar bola mata jengah. "Lo waktu KRS nggak liat nama dosennya emang? Parah sih. Seenggak niatnya lo ikut semester pendek, masa sampe nggak tahu nama dosennya."

Ck. "Fris, lo kan tau. Dari semester satu sampai sekarang lupa mulu nama dosen. Gue panggil aja Pak Statistika, Ibu Psikologi, Pak Manajemen, Pak Bahasa. Lagian dosen-dosen bukan cuma dari jurusan kita. Nggak kayak SMA yang bertahun-tahun itu-itu aja. Ini loh tiap semester beda-beda mulu."

Daripada meladeni ucapan Anin yang semakin melantur, Frisya akhirnya menjawab. "Pak Budi."

"Eh?" Anin menengok ke Frisya, seakan berpikir.

"Percuma kan gue kasih tau juga. Lo nggak hafal mukanya," sindir Frisya.

"Kasih clue," pinta Anin.

"Pak Budi. Suaminya Ibu Budi."

"Ya iyalah. Kalo Pak Leo namanya, baru suami Frisya."

"Apaan sih lo, Nin?" Frisya menyenggol lengan Anin dengan sebal. "Bilang aja kalo ngebet nikah juga. Cari dari sekarang sana."

Anin tepuk jidat. "Kalo nasib gue sama kayak lo, ada laki baik-baik yang udah tajir, umur lebih tua dari gue, dan dewasa, nggak perlu ditanya lagi. Gue sih yes."

"Sejak kapan lo suka yang lebih tua?" Frisya mengernyit. "Seinget gue, mantan lo hampir semua seumuran. Lebih muda juga ada. Setahun di atas lo aja cuma satu. Si buronan itu kan? Astaga, gue baru inget lo pernah hampir ditahan gara-gara diajak nyolong apa waktu itu?"

"Sandal masjid."

"Beneran?" Frisya malah membelalak. Ia tidak percaya jawaban Anin seperti itu.

"Dia kan aneh, Fris. Ambilin cangcut tetangga juga. Ya ampun, gue jadi merasa harga diri gue terjun bebas karena pernah mau sama kleptomania kayak dia."

"Emang gitu, Nin. Kadang cowok waktu pedekate normal-normal aja. Pas udah jadi pacar, kelihatan semua tuh aibnya."

"Makanya selera gue nggak sama lagi." Anin tertawa.

"Tapi jangan jadiin itu buat patokan apalagi standarisasi selera lo. Saat lo menemukan orang yang tepat dan bikin nyaman, semua tipe dan selera yang ada pikiran lo itu bakal nggak guna."

Anin langsung menoleh. Benar juga. "Iya juga sih. Gue nggak muluk-muluk mintanya. Yang penting nggak malu-maluin dibawa kondangan aja deh."

Frisya tertawa sambil mengambil buku.

"Lo mah enak, Fris. Cakep. Yang deketin otomatis cakep juga. Lah gue, kentang gini," keluh Anin sambil merebahkan kepalanya di meja. Efek ucapan tantenya benar-benar membekas. membuat seorang Anin mengeluh untuk pertama kalinya dalam hidup.

"Lo juga cantik, Anindya." Frisya menepuk punggung Anin. "Vibes lo positif banget. Easy going. Hampir semua orang nyaman sama lo. Itu alasan kenapa gue masih bisa temenan sama lo. Lo tahu sendiri kan seberapa banyak orang yang bilang gue sombong padahal gue diem aja?"

GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang